Jujur saja menjadi guru adalah tugas yang berat. Kita di tuntut untuk bisa mendidik anak-anak tapi justru hal itulah bagian yang paling tidak mudah. Mungkin lebih baik jika satu guru mengajari dan mengawasi satu siswa saja. Faktanya, satu guru di tuntut untuk bisa mengajari dan mengawasi puluhan siswa.
Ah, siswa disini tidak seperti di adegan film yang biasa kita tonton. Dimana setiap adegan guru berbicara semua siswa menyimak. Faktanya siswa disini sulit sekali serius dan fokus. Salah satu skill yang wajib dimiliki oleh guru Indonesia adalah pengondisian kelas. Dimana guru harus bisa menenangkan kelas bak baby sitter. Tapi kalau tidak mempan juga maka terpaksa menggunakan emosi dan nada tinggi, melelahkan ya. Saya pernah berpikir apakah karena saya yang kurang berwibawa jadi para siswa berisik dan abai. Ternyata tidak juga, karena guru-guru lain juga mengalami hal yang sama.
Saya bertanya-tanya kenapa siswa disini tidak bisa serius dan fokus. Mungkinkah karena SDM di Indonesia yang masih rendah sehingga menciptakan lingkungan dan budaya yang membuat siswa tidak bisa serius dalam belajar. Saya juga tidak tahu pasti. Sebagai guru saya hanya bisa berusaha merubah kebiasaan buruk itu semampu saya.
Kelakuan siswa sekarang saya rasa sangat minus. Tapi yang lebih parah adalah kelakuan orang tuanya. Saya masih sakit hati dengan kejadian dulu. Saya pernah di marahi habis-habisan oleh wali murid, tidak hanya memarahi tapi juga merendahkan saya.
Jadi awalnya saya dan anak-anak sedang latih tanding basket sesama anggota ekskul. Tapi permainan menjadi semakin kasar sayapun sudah memberi arahan untuk tetap bermain aman, mungkin karena kedua team sudah kelelahan. Jadi ada insiden dimana si A tidak sengaja membenturkan kepalanya ke bibir si B hingga sobek dan berdarah. Saya menyaksikan kejadian itu dan sempat melerainya tapi kemudian secara cepat si B ini menghajar kepala si A karena mungkin kesakitan dan emosi.
Setelah kejadian itu orang tua si A marah-marah. Disitulah momen cambukan bagi diri saya agar belajar dari kesalahan. Disitu bapaknya A terus menyudutkan dan menyalahkan saya atas kejadian itu. Di perdebatan itu dia selalu mencari celah untuk menyalahkan saya sebagai pelatihnya. Bahkan saya di rendahkan juga di anggap tidak becus melatih dan tidak punya jiwa kebapakkan.
Pada akhirnya saya sadar harus mengalah dan merendah demi karir. Ada seorang teman yang membela saya dia pun kena marah bahkan di tantang berkelahi. Reaksi wali murid tersebut sangat berlebihan dan itu membuat hati saya dan teman saya yang juga seorang guru sungguh sakit dan tidak akan pernah terlupakan.
Tapi di balik pengalaman pahit itu saya menjadi belajar dan introspeksi diri. Memang benar ada beberapa hal yang perlu di perbaiki dari cara saya melatih basket. Saya tetap memilih berlapang dada dan mengambil hikmahnya.
Tapi teman saya yang ikut terlibat pada momen buruk itu bercerita bahwa sungguh tidak ada harganya perjuangan kita mendidik, karena satu kesalahan semua yang telah kita dedikasikan tidak ada maknanya sama sekali. Padahal si A ini adalah murid kita satu tahun yang lalu ketika dia masih SD. Lihatlah kelakuan orang tua yang sangat berlebihan kepada guru. Seolah-olah guru ini seperti dewa yang harus sempurna, padahal anaknya sendiripun susah di atur. "Hati-hati saja, guru itu sakral. Sumpahnya bisa menjadikanmu sengsara di masa depan. Jangan pernah anggap remeh guru yang kecewa." ucapnya.
Kejadian itu menjadi shock therapy bagi diri saya. Sekaligus refleksi terhadap kekurangan yang saya miliki. Jadi kedepannya semoga saya bisa lebih baik lagi dan lebih cermat lagi dalam melatih. Konsep yang matang akan lebih membantu saya di lapangan. Sebenarnya hati ini masih sakit, dan belum bisa memaafkan. Tapi biarlah itu menjadi memori kelam yang mengingatkan diri saya untuk tidak lalai di setiap situasi meskipun dalam keadaan banyak anak yang saya pegang untuk berlatih basket.
0 comments:
Posting Komentar