Selasa, 27 November 2018

MENGAPA MENGUNGKAPKAN RASA TERIMAKASIH MENJADI SANGAT SULIT

Menghadapi bias kognitif yang menahan kita


Faktor yang paling penting untuk panjang umur dan hidup bahagia adalah memiliki relasi sosial yang baik juga bisa kamu percaya. Kita adalah makhluk sosial, dan kita tidak bisa hidup sendiri. Setiap hari, kita bekerjasama dengan orang lain, kita membantunya, dan mereka juga membantu kita. Namun dalam keseharian memberi-dan-menerima, kita sangat sering melupakan ucapan terimakasih kepada mereka—orang-orang yang memberi perubahan pada hidup kita.

“Tentunya mereka tahu betapa berterimakasihnya aku”, pikir kita. “Aku tidak ingin membuat mereka malu dengan bersikap sangat emosional.” Keengganan untuk mengucapkan terimakasih ini adalah sebuah keanehan, mengingat penelitian saintifik dan pengalaman umum menunjukan bagaimana pengungkapan rasa terimakasih bisa menaikan mood dari keduanya baik pengujar dan pendengar, dengan demikian dapat menguatkan ikatan emosional di antara mereka.

Lalu kenapa kita menjadi sangat enggan untuk mengucapkan terimakasih? Ini adalah pertanyaan dari psikologis dari Univeristy of Chicago yaitu Amit Kumar dan Nicholas Epley yang di tanyakan dalam studi terbarunya dalam jurnal Psychological Science.

Para peneliti memulainya dengan menggaris bawahi bahwa kita semua memiliki pembelokan egosentris yang membuat kita sulit memprediksikan orang lain secara akurat—atau bahkan diri kita sendiri—dalam situasi yang bermacam-macam. Oleh karena itu, kita cenderung mengasumsikan bahwa hal yang baru saja kita rasakan adalah yang orang lain rasakan, atau bagaimana perasaan kita beberapa saat kemudian. Contoh umumnya sebagai berikut:
  • ·         Orang-orang percaya mereka akan bahagia ketika menghabiskan uang untuk dirinya sendiri tapi faktanya mereka akan jauh lebih bahagia jika berbagi dengan orang lain.
  • ·         Orang-orang percaya bahwa melibatkan percakapan dengan orang yang belum dikenal akan terasa tidak nyaman, tetapi pada  mereka meresponnya dengan positif.
  • ·         Juga ketika introverts di perintahkan untuk berpura-pura menjadi extraverted dalam situasi sosial, lalu mereka menceritakan bahwa mereka lebih menikmati pengalaman di bandingkan mereka yang tetap introverted dalam situasi yang sama.

Pembelokan egosentris secara sistematis menununtun kita untuk merendahkan nilai positif dari apa yang dimiliki interaksi sosial kepada kita.

Dengan menghargai ungkapan terimakasih, Kumar dan Epley menjelaskan pembelokan egosentris bermain peran dalam dua cara. Pertama, ketika rasa terimakasih menjadi jelas untuk kita, kita mengasumsikan itu harus menjadi jelas kepada orang yang menolong kita juga. Para peniliti menamai mindset ini dengan curse of knowledge. Itulah, jika kamu mengetahui sesuatu, akan sulit dibayangkan bahwa orang lain tidak mengetahuinya dengan baik. “Itu sudah jelas”, kita bilang. Tapi ternyata orang lain tidak pernah mengetahui maksud terimakasih kita.

Kedua, kita selalu merasa tidak nyaman ketika kita harus mengungkapkan emosi tertentu karena kita tidak yakin bagiamana cara melakukannya. Kita berusaha mencari kata yang tepat untuk mengungkapkan perasaan, dan dalam prosesnya kita menganggap pendengar akan merasa tidak nyaman untuk mendengarkan ungkapan terimakasih kita sebagaimana kita merasakan hal itu juga ketika mengungkapkannya. Dari segi psikologi sosial, pelaku lebih perhatian dengan competenceberucap atau melakukan sesuatu dengan cara yang benar—sementara orang lain menilai kita berdasarkan warmth—yaitu, kesan tulus dari emosi yang kita ungkapkan. Dan, sementara kita berusaha dengan competence, mereka yang berada di sekitar kita tersentuh dengan warmth yang kita miliki.

Untuk mengetes ide bahwa ungkapan terimakasih bisa menjadi sulit karena pembelokan social-cognitive yang dijelaskan di atas, Kumar dan Epley melakukan rangkaian eksperimen. Meskipun setiap eksperimen dirancang untuk aspek spesifik dari teori, prosedur dasar dan hasilnya sama-sama berdampak luas. Singkatnya, partisipan diminta untuk menuliskan surat terimakasih kepada orang yang memberikan perbedaan di hidupnya. Segera setelah itu, partisipan menjawab pertanyaan terkait dengan mood mereka, perasaan mereka ketika menulis surat tadi, dan bagaimana mereka membayangkan perasaan penerima surat tersebut ketika membacanya. Para peneliti kemudian menghubungi penerima surat dan bertanya mengenai apa yang mereka rasakan tentang thankyou-note.

Setelah mengirim surat, partisipan menceritakan tentang peningkatan mood, berkata bahwa mengungkapkan perasaan terimakasih dalam kata-kata adalah sebuah pengalaman yang positif bagi mereka. Tetapi, mereka masih pesimis tentang respon dari para penerima surat, segaris dengan keilmuan yang di bahas, dimana kita menganggap bahwa yang kita tahu harus jelas untuk yang lain. Faktanya, penerima surat sedikit terkejut bukan hanya karena mendapatkan thank-you-note tapi juga karena isi dari surat itu. Dengan kata lain, penerima surat umumnya tidak tahu dampak perlakuan baik apa yang tertulis di suratnya.

Selanjutnya, si penulis surat membayangkan penerimanya akan merasa tidak nyaman tentang ungkapan terimakasih yang telah ditulis, tetapi ini bukanlah yang terpenting. Dan dalam pertanyaan lanjutan, para peneliti menentukan hal itu dari isu  competence-versus-warmth yang di diskusikan di awal. Artinya, selama penulis merasa aneh dengan usaha mereka untuk menemukan kata yang tepat (competence), penerima surat sangat tersentuh dengan ungkapan terimakasih (warmth), bagaimanapun juga kata-kata yang sesungguhnya telah tertulis.

Beberapa pelajaran hidup bisa tergambar dari studi ini. Pertama, jangan memaki ilmu. Begitulah, jangan menganggap yang lain mengetahui apa yang kamu tahu. Apa yang sudah jelas untukmu belum tentu jelas juga bagi orang lain. Orang lain sungguh tidak bisa membaca pikiranmu, jadi ucapkanlah apa yang kamu pikirkan. Itu akan menjadi semacam informasi untuk mereka.

Akibat wajar dari hal ini, orang-orang sering berpikir mereka bisa membaca pikiran, dan membuat inferensi pendek tentang yang mereka pikir dan rasakan. Mereka juga selalu salah, jadi dengan mengungkapkan secara langsung apa yang ada dalam pikiranmu, kamu banyak mengklarifikasi kesalahpahaman. Pentingnya mengungkapkan terimakasih hanyalah satu dari kebutuhuan umum untuk berkomunikasi dengan jujur dan terbuka.

Kedua, kurang khawatir dengan competence dan lebih fokuskan perhatianmu ke warmth. Pada akhirnya, tidak ada yang peduli meskipun kamu menggunakan kata-kata yang tepat. Cukup, apa yang mereka pedulikan adalah warmth milikmu. Itulah, ketulusan emosi ungkapanmu. Faktanya kata yang terlalu mengarang bisa menjadi ketidakjujuran, jadi lebih baik menggunakan kata-kata sederhana dan bahasa yang jujur.

Saran ini berfungsi tidak hanya untuk mengekspesikan ungkapan terimakasih, tapi juga untuk situasi yang canggung seperti belasungkawa atau bahkan menanyakan seseorang untuk kencan. Setelah tu, tak ada yang akan mengingat kata yang persis kamu katakan. Tapi mereka akan mengingat emosi yang kamu ungkapkan, dan seberapa banyak mereka tersentuh olehnya.
Share:

0 comments:

Posting Komentar