Sosok badarawuhi, demit ular paling licik dan manipulatif (dalam cerita) |
Momentum libur lebaran 2024 ternyata belum selesai. Terbukti dengan antrian tiket yang panjang yang membuatku badmood sedikit karena aku kira akan sepi karena seharusnya orang-orang sudah masuk kerja lagi, eh malah sebaliknya. Sudah 15 menit antri malah sisa seatnya tinggal yang paling depan. Alhasil, aku pilih jam nonton terakhir pukul 21.20 yang seharusnya 20.30. Ya, daripada tidak nyaman menonton di depan layar lebih baik bersabar sedikit menunggu jam tayang selanjutnya. Ternyata film badarawuhi ini banyak yang penasaran. Bisa dibilang film pendahulunya sukses karena bisa membawa penonton sebanyak ini di prequelnya sekarang.
Setelah menonton
dengan konsentrasi penuh. Aku melihat film badarawuhi ini terlalu menonjolkan sisi
dramanya. Jadi para penonton perlu penghayatan untuk menyaksikan adegan demi
adegan dengan seksama agar mendapat “drama” yang menurutku menjadi nilai jual film
ini. Jika atmosfir kkn desa penari seperti film detektif dengan alur yang rumit.
Badarawuhi alurnya lebih kelam tapi sederhana, karena fokus cerita adalah
tentang orang tua yang sakit parah karena di kutuk. Film badarawuhi ini
menurutku bukan seram, tapi lebih ke miris dan prihatin. Siapa yang tega
melihat kondisi orang tua mengalami penyakit akut tapi tetap bergestur menari
setiap saat. Benar-benar mengundang kecemasan nyata karena yang dihadapipun
nyata adanya seperti “penyakit” bukan “hantu”. Ya meskipun pada akhirnya tetap
bersinggungan dengan hantu yakni badarawuhi.
Porsi inggri sebagai
pembawa kawaturih sangat kurang, dimana dia adalah ibu dari mila (peran utama).
Jadi pengembangan karakternya kurang juga. Makanya ketika di adegan latar hitam
seperti teater dimana mila dan inggri bertemu. Itu menjadi kurang sekali,
karena kita tidak tahu kenangan apa yang sudah dilalui mereka berdua. Jadinya,
scene sedih itu menjadi kentang. Ditambah musiknya juga tidak pas. Malah seprti
musik film motivasi hidup. Menonjolkan drama tapi malah kurang berasa dramanya.
Sepanjang film aku mencoba konsentrasi agar mengerti alur ceritanya. Tapi sialnya aku kesulitan mencerna adegan flashback yang menjadi kunci utama cerita. Adegan-adegan di scene flashback aku rasa terlalu cepat dan loncat-loncat, gila sih otak aku tidak secepat itu untuk menalar adegan yang cepat tapi banyak sekali. Apakah ini salah satu tekhnik promosi agar filmnya ditonton lagi ya? Aku benar-benar dibuat kaget karena sepanjang film ini pacenya lambat, tapi ketika masuk di flashback kenapa jadi cepat dan melompat-lompat bahasannya. Ketidakrapihan penyampaian di adegan itu membuatku sedikit mengurangi nilai dari film ini.
Membahas kepuasan mata. Terasa kualitas cinematic badarawuhi masih kalah dengan film kkn desa penari. Scenesnya banyak yang aku rasa biasa saja. Paling bagus ketika hujan dan warung setan dipinggir sungai sudah itu saja yang berkesan dan epic menurutku. Padahal salah satu alasanku menonton prequel ini adalah mendapatkan pemandangan hutan yang bagus dan shot-shot yang aesthetic. Set shootingnya saja terlalu banyak adegan di ruangan yang terkesan membosankan sekali.
Tapi dibalik kekurangannya ada beberapa kelebihan yang aku dapat juga di film badarawuhi ini. Contohnya ada dua tokoh yang membuat cerita menjadi kental. Mereka adalah mbah buyut dan mbak ratih. Adanya adegan mbah buyut muda membuat kita paham dan mengerti siapa itu mbah buyut. Jadi ketika dia bernarasi tentang aturan-aturan atau apapun yang dia bahas mengenai desa itu membuat kita terhanyut kedalam cerita. Untuk peran ratih menurutku dia unggul di kualitas acting. Terasa sangat natural dan innocent. Apalagi ketika dia menari sebagai dawuh, tubuhnya seperti bergerak sendiri. Gila keren banget. Mbah buyut membuat kita hanyut dalam plot sedangkan mbak ratih membuat kita shock karena seperti melihat kejadian nyata. Mereka berdua membuat cerita terasa semakin kental.
Dari kejadian penipuan dawuh di tahun 1955 sampai mila datang ke desa membawa kawaturih di tahun 1980, desa penari tetap di tempati oleh warganya. Meskipun badarawuhi tidak bisa lagi mencari dawuh tetap saja desa itu masih penuh mistis dan tak lepas dari kesialan-kesialan yang menimpa para warganya. Ini membuat kita bertanya, kenapa warga disana tidak pindah saja dan mengosongkan desa itu? Bahkan di kkn desa penari masih banyak warga yang berada disana alias warganya betah. Ternyata oh ternyata, mayoritas pekerjaan warga disana adalah berternak dan bertani. Terlihat ketika penari setan memakan hewan ternak serta merusak lahan pertanian satu desa histeris karena mereka adalah warga ekonomi rendah yang bergantung pada ternak dan lahan taninya. Jadi, tidak ada opsi untuk pindah karena untuk hidup saja sulit. Rumah-rumah disana juga masih terbuat dari kayu. Plot ini membuat kesan yang kuat karena semua kejadian terjadi di desa ini. Semua sudah terjawab bahwa setiap orang disana memang tidak punya pilihan lain selain manut dengan tradisi serta rangkaian kesialan yang terjadi disana.
Pembagian porsi pemainpun pas. Diawal film kita cukup fresh karena adegan komedi arya dan jito. Kemudian di tengah yang lebih mengambil peran adalah yuda membuat film terasa semakin serius. Hingga pada akhirnya mencapai klimax dan resolusi cerita di handle oleh mbah buyut dan mila. Jujur saja, ini terasa sekali loh. Jadi meskipun pas, tapi kita jadi paham cara kerja penulis naskah dalam menulis naskahnya hehe.
Overall, bagiku
film ini cukup bagus. Kalau ditanya worth tidak untuk di tonton di bioskop? Ya,
worth aja. Tapi, aku pribadi merasa film ini lebih cocok di tonton di rumah
ketika kita terbangun ditengah malam. Jadi suasananya sunyi dan nontonnya bisa
lebih fokus karena film ini butuh penghayatan. Kalau di bioskop menurutku terlalu banyak suara-suara aneh dari
penonton lainnya yang memecah konsentrasi kita. Bakalan dapet banget feelnya
kalau nonton di tengah malam sambil makan indomie hehe. Sekian.
0 comments:
Posting Komentar