Mohon maaf sebelumnya bila di tulisan ini ada yang tersinggung. Saya ingin menuliskan dengan jujur apa saja yang saya rasakan selama mengemban tugas sebagai ketua acara wisuda.
Sebenarnya tugas ini adalah tugas yang paling saya hindari. Bahkan saya pernah bilang ke salah satu teman saya. Mencari pengalaman dan di manfaatkan itu beda sekali. Ketika melihat teman-teman saya yang menjadi ketua di acara-acara seperti ini rasanya mereka hanya di forsir dan di manfaatkan saja.
Belum lagi pimpinan yang suka merusak konsep yang sudah ada. Saya bisa menyimpulkan bahwa hal ini bukanlah hal yang baik. Tapi sialnya, malah saya yang di pilih jadi ketua padahal sudah berulang kali menolak.
Bisa di bilang saya mengemban tugas ini setengah hati dari awal. Mungkin kalau bukan karena solidaritas saya sangat malas untuk menjadi mesin di sini. Karena melihat teman-teman yang terlibat juga mengeluarkan tenaga dan waktunya saya jadi luluh dan mulai menjadi mesin di acara ini.
Yang saya sadari adalah saya harus bisa mengompori tiap divisi dan membuat semua orang sadar akan proses yang terjadi menuju hari H. Saya menjapri tiap divisi dan memantau tugas mereka sudah sampai mana, meskipun waktu hanya seminggu saja untuk segala persiapan dari mulai dekorasi, latihan, dll. Di benak saya acara ini harus sukses demi teman-teman, para wisudawan, dan orang tua. Bukan untuk yayasan!
Pada praktiknya teman saya Bayu lah yang aktif dalam memperhitungkan segala persiapan untuk wisuda. Dari situ saya mulai mengganti peran saya untuk menjadi helper atau menambal apa yang perlu di kerjakan. Apapun itu saya kerjakan meskipun saya ketua saya rela angkat-angkat bangku dan meja saat acara di stage. Semua itu saya lakukan untuk mereka yang saya sebutkan di atas. Alhamdulillah acara berlangsung dengan baik meskipun tidak sempurna.
Pada akhrinya saya menyadari bahwa guru-guru memang tak ada harganya. Agama hanya di pakai sebagai kedok saja oleh yayasan tapi tidak mensejahterakan guru. Saya yang berstatus ketua gajihnya sama saja dengan yang lain. Beda dengan tahun lalu yang di lebihkan untuk ketua. Tapi saya sadar hal ini sudah menjadi budaya disini. Tidak menghargai kinerja bawahan rasanya normal saja.
Wisudawan membayar jutaan untuk acara ini tapi guru hanya mendapatkan seuprit saja dari keuntungan itu. Dasar kapitalis. Menuntut sempurna dengan upah yang minim. Kurang ajar!
Kedepannya saya tidak akan mau lagi menjadi ketua di acara-acara yang kalian keruk sebagian besar untungnya dan menyisakan seuprit saja untuk kami para guru.
0 comments:
Posting Komentar