Sabtu, 08 Februari 2020

, , ,

Cerita KKN di Desa Penari versi lengkap 2020



Film KKN DI DESA PENARI bulan maret ini akan rilis loh. Tapi sebelum liat filmnya lebih seru lagi kalo kalian baca dulu ceritanya. Supaya bisa ngerti pas nonton nanti.

TRAILER KKN DI DESA PENARI

Ngga usah berlama-lama, selamat membaca cerita serunya!
.
.
.
Malam ini, gw akan bercerita sebuah cerita dari seseorang, yang menurut gw spesial. Kenapa? Karena gw sedikit gak yakin bakal bisa menceritakan setiap detail apa yang beliau alami.

Sebuah cerita tentang pengalaman beliau selama KKN, di sebuah desa penari.

Sebelum gw memulai semuanya. Gw sedikit mau menyampaikan beberapa hal.

Sebelumnya, penulis tidak mendapat ijin untuk memposting cerita ini dari yang empunya cerita, karena beliau memiliki ketakutan sendiri pada beberapa hal, yang meliputi kampus dan desa tempat KKN diadakan.

Tetapi, karena penulis berpikir bahwa cerita ini memiliki banyak pelajaran yang mungkin bisa dipetik terlepas dari pengalaman sang pemilik cerita akhirnya, kami sepakat, bahwa, semua yang berhubungan dengan cerita ini, meliputi nama kampus, fakultas, desa dan latar cerita, akan sangat dirahasiakan.

Jadi buat teman-teman yang membaca cerita ini, yang mungkin tahu, atau merasa familiar dengan beberapa tempat yang meski disamarkan ini, dimohon, untuk diam saja, atau merahasiakan semuanya, karena ini sudah menjadi janji penulis dan pemilik cerita.

Tahun 2009 akhir, semua anak angkatan 2005/06 sudah hampir merampungkan persyaratan untuk mengikuti KKN yang dilakukan di beberapa desa sebagai syarat lanjutan untuk tugas skripsi.

Dari semua wajah antusias itu di kampus, terlihat satu orang tampak menyendiri. Widya, begitu anak-anak lain memanggilnya

Ia tampak begitu gugup, menyepi, menyendiri, sampai panggilan telepon itu membuyarkan lamunannya.

"Aku wes oleh nggon KKN'e," (aku sudah dapat tempat untuk KKN) kata di ujung telepon. Wajah muram itu, berubah menjadi senyuman penuh harap.

"Nang ndi?" (dimana?)

"Nang kota B, gok deso kabupaten K***li** , akeh proker, tak jamin, nggone cocok gawe KKN" (di kota B, di sebuah desa di kabupaten K*******, banyak proker untuk dikerjakan, tempatnya cocok untuk KKN kita).

Saat itu juga, Widya segera mengajukan proposal KKN. Semua persyaratan sudah terpenuhi, kecuali kelengkapan anggota dalam setiap kelompok minimal harus melibatkan 2 fakultas berbeda pun dengan anggota minimal 6 orang.

"Tenang," kata Ayu, perempuan yang tempo hari memberi kabar tempat KKN yang ia observasi bersama abangnya. Benar saja, tidak beberapa lama, muncul Bima dengan Nur, ia menyampaikan, kelengkapan anggota 6 orang yang melibatkan 2 fakultas sudah disetujui.

"Sopo sing gabung Nur (siapa yang sudah gabung Nur)?" tanya Ayu,

"Temenku. kating, 2 angkatan di atas kita, satunya lagi, temannya." Lega sudah, batin Widya.

Surat keputusan KKN sudah disetujui semuanya, terdiri dari 2 fakultas dengan proker kelompok dan individu, untuk pengabdian di masyarakat yang akan diadakan kurang lebih sekitar 6 minggu.

Hanya tinggal menunggu, pembekalan sebelum keberangkatan. Jauh hari sebelum malam pembekalan, Widya berpamitan kepada orang tuanya tentang progress KKN yang wajib ia tempuh. Ketika orang tua Widya bertanya ke mana proyek KKN mereka, terlihat wajah tidak suka dari raut ibunya.

"Gak onok nggon liyo, lapo kudu gok Kota B (apa gak ada tempat lain, kenapa harus kota B)?" wajah ibunya menegang. "Nggok kudu nggone Alas tok? Ra umum di nggoni gawe menungso (di sana tempatnya bukannya hutan semua? Tidak bagus ditinggali oleh manusia).

Namun setelah Widya menjelaskan, bahwa sebelumnya sudah dilakukan observasi, wajah ibunya melunak.

"Perasaane ibuk gak enak, opo gak isok diundur setahun maneh (perasaan ibu gak enak, apa tidak bisa diundur satu tahun lagi)."

Widya enggan melakukannya, maka, meski berat, kedua orang tuanya pun terpaksa menyetujuinya.

Hari pembekalan sebelum keberangkatan. Widya, Ayu, Bima dan Nur, matanya melihat ke sekeliling, khawatir, 2 orang yang seharusnya ikut pembekalan belum juga terlihat batang hidungnya, sampai, menjelang siang, 2 orang muncul, menyapa dan memperkenalkan dirinya di depan mereka.

Wahyu dan Anton. Setelah basa-basi, bertanya seputar rencana KKN dari A sampai Z selesai, mereka akhirnya berangkat.

"Numpak opo dik kene (naik apa kita nanti)?" tanya Wahyu.

"Elf mas," jawab Nur.

"Sampe deso'ne numpak Elf dik (sampai desanya naik mobil Elf dik)?" 

"Mboten mas. Berhenti di jalur Alas D engken enten sing jemput (tidak mas, nanti berhenti di jalur hutan D, nanti ada yang jemput)," sahut Nur.

Mendengar itu, Widya bertanya ke Ayu. "Yu, deso'ne ra isok diliwati mobil ta (Yu, apa desanya gak bisa dimasuki mobil)?"

Ayu hanya menggelengkan kepala. "Ra isok, tapi cedek kok tekan dalan gede, 45 menit palingan (gak bisa, tapi dekat kok dari jalan besar, 45 menit kemungkinan)."

Di sinilah, cerita ini dimulai. Sesuai apa yang Nur katakan, mobil berhenti di jalur masuk hutan D, menempuh perjalanan 4 sampai 5 jam dari kota S. Tanpa terasa hari sudah mulai petang, ditambah area dekat dengan hutan, membuat pandangan mata terbatas, belum sampai di sana, gerimis mulai turun, lengkap sudah.

Setelah menunggu hampir setengah jam, terlihat dari jauh, cahaya mendekat, Nur dan Ayu langsung mengatakan bahwa mereka yang akan mengantar.

Rupanya, yang mengantar adalah 6 lelaki paruh baya, dengan motor butut.

"Cuk, sepedaan tah," kata Wahyu, spontan. Saat itu ada yang aneh entah disengaja atau tidak, ucapan yang dianggap biasa di kota S, ditanggapi lain oleh lelaki itu, wajahnya tampak tidak suka, dan sinis tajam melihat Wahyu.

Hanya saja, yang memperhatikan semua sedetail itu, hanya Widya seorang. Apapun itu, semoga bukan hal yang buruk. Di tengah gerimis, jalanan berlumpur, pohon di samping kanan kiri, mereka tempuh dengan suara motor yang seperti sudah mau ngadat saja, ditambah medan tanah naik turun, membuat Widya berpikir kembali.

Sudah hampir satu jam lebih, tapi motor masih berjalan lebih jauh ke dalam hutan. Khawatir bahwa yang dimaksud Ayu, setengah jam lewat 15 menit adalah setengah hari, Widya mulai berharap semua ini cepat selesai.

Di tengah perjalanan, tidak satupun dari pengendara motor itu yang mengajaknya bicara, aneh. Apa semua warga disana pendiam semua.

Malam semakin gelap, dan hutan semakin sunyi sepi. Namun, kata orang, dimana sunyi dan sepi ditemui, di sana rahasia dijaga rapat-rapat.

Kini, rasa menyesal sempat terpikir di pikiran Widya. Apakah ia siap, menghabiskan 6 minggu ke depan, di sebuah desa, jauh di dalam hutan. Ketika suara motor memecah suara rintik gerimis, dari jauh, sayup-sayup, terdengar sebuah suara.

Suara familiar, dengan tabuhan kendang dan gong, diikuti suara kenong, kompyang, membaur menjadi alunan suara gamelan.

Apa ada yang sedang mengadakan hajatan di dekat sini. Dan ketika sayup-sayup suara itu perlahan menghilang, terlihat gapura kayu, menyambut mereka.

Sampailah mereka di Desa W****, tempat mereka akan mengabdikan diri selama 6 minggu ke depan.

"Monggo (permisi)," kata lelaki itu, sebelum meninggalkan Widya dengan motornya.

"Mrene rek," teriak Ayu. Di sampingnya berdiri seorang pria, wajahnya tenang, dengan kumis tebal, mengenakan kemeja batik khas ketimuran, ia berdiri seolah sudah menunggu sedari tadi.

"Kenalno, niki Pak Prabu, kepala desanya, koncone mas'ku. Pak Prabu, niki rencang kulo yang dari Kota S, mau melaksanakan kegiatan KKN di kampung panjenengan (Kenalkan, ini Pak Prabu, kepala desa teman kakakku. Pak Prabu, ini teman saya yang dari kota S, yang rencananya mau KKN)."

Pak Prabu memperkenalkan diri, bercerita tentang sejarah desanya. Di tengah ia bercerita, Widya pun bertanya kenapa desanya harus sepelosok ini. Dengan tawa sumringah, Pak Prabu menjawab: "Pelosok yok nopo toh mbak, jarak ke dalan gede cuma setengah jam kok (pelosok bagaimana maksudnya mbak, bukannya jarak ke jalan besar hanya 30 menit)?"

Tatapan bingung Widya, disambut tatapan bertanya oleh semua temannya, seolah pertanyaannya kok membingungkan.

"Mbak'e paling pegel, wes, tak anter nang ndi sedoyo bakal tinggal (mbaknya mungkin capek, jadi, mari, tak antar ke tempat di mana nanti kalian tinggal)."

Di tengah kebingungan itu, Ayu menegur Widya. "Maksudmu opo to Wid, takon koyok ngunu? Garai sungkan ae (Maksudnya bagaimana Wid, kok kamu tanya seperti itu, membuat situasi jadi sungkan)."

Di situ, Widya menyadari, ada yang salah.

Tempat menginap untuk laki-laki adalah rumah gubuk yang dulunya seringkali dipakai untuk posyandu, tapi sudah diubah sedemikian rupa, meski beralaskan tanah, tapi di dalamnya sudah ada bayang (ranjang tidur) beralaskan tikar.

Sedangkan untuk perempuan, menginap di salah satu rumah warga.

Di dalam kamar, Widya pun menjelaskan maksud ucapannya kepada Pak Prabu, karena sepanjang perjalanan, bila dirasakan oleh Widya sendiri, itu lebih dari satu jam. Ayu membantah bahwa lama perjalanan tidak sampai selama itu. Anehnya, Nur memilih tidak ikut berdebat.

Nur, lebih memilih untuk diam. "Ngene, awakmu krungu ora, nang dalan alas mau, onok suara gamelan (gini, kamu dengar apa tidak , di jalan tadi, ada suara orang memainkan gamelan)?"

"Yo paling onok hajatan lah, opo maneh (ya palingan ada warga yang mengadakan hajatan, apalagi)."

Berbeda dengan Ayu, Nur menatap Widya dengan ngeri sembari berbicara lirih. Nur yang seharusnya paling ceria di antara mereka berkata, "mbak, ra onok deso maneh nang kene, gak mungkin nek onok hajatan, nek jare wong biyen, krungu gamelan nang nggon kene, iku pertanda elek (mbak, tidak mungkin ada desa lain di sini, tidak mungkin ada acara di dekat sini, kalau kata orang jaman dulu, kalau dengar suara gamelan, itu pertanda buruk)

Mendengar itu, Ayu tersulut dan langsung menuding Nur sudah ngomong yang tidak-tidak.

"Nur, ra usah ngomong aneh-aneh kui, awakmu yo melok observasi nang kene ambek aku, mosok gorong sedino wes ngomong ra masuk akal ngunu (Nur, jangan ngomong sembarangan kamu, bukannya kamu ikut observasi di kampung ini sama aku, belum sehari kamu sudah ngomong yang gak masuk akal begini)."

Ayu pergi, meninggalkan Widya dengan Nur. Saat itu, Nur mengatakan, "mbak, aku yo krungu suara gamelan iku (mbak, aku juga dengar suara gamelan itu). Masalahe mbak, aku yo ndelok onok penari'ne nang dalan mau (masalahnya, aku juga lihat ada yang menari di jalan tadi)

"Astaghfirullah," kata Widya tidak percaya.

Nur menatap nanar Widya, air matanya sudah seperti memaksa keluar, Widya hanya memeluk dan mencoba menenangkannya.

Benar kata ibunya tempo hari.

"Banyu semilir mlayu nang etan." (air selalu mengalir ke arah timur) yang memiliki makna, bahwa timur adalah tempat di mana semua dikumpulkan menjadi satu, antara yang buruk dan yang paling buruk, dan kini, Widya harus tinggal di hutan paling timur.

Cerita Nur dan Widya tentang suara gamelan di sepanjang perjalanan tadi, masih awalnya saja, ibarat sebuah kopi masih sampai di rasa yang paling manis, belum sampai di rasa yang paling pahit.

Widya memang percaya terhadap hal-hal yang gaib, itu ada di dalam ajaran agamanya. Namun baru kali ini ia merasakan langsung pengalaman itu, meski hanya sekadar suara. Berbeda dengan Nur, temannya, ia mengaku melihat yang tidak seharusnya ia lihat.

Mungkin Nur lebih sensitif. Memang, sejak awal, Nur yang paling berbeda di antara yang lain, hanya dia seorang yang mengenakan jilbab, dibandingkan dengan Ayu dan dirinya sendiri. Nur yang paling religius, karena setahu Widya sendiri, Nur jebolan pondok pesantren ternama di kota "J".

Terlepas dari itu semua, pengalaman KKN ini, tidak akan pernah dilupakan oleh semua rombongan ini.

"Nur," kata Widya masih menenangkan. "Nur bisa ndak, cerita ini ojok sampe nyebar yo gok arek2, kan gak enak, nek sampe kerungu ambi warga deso, opo maneh kita di sini iku tamu, insyaallah, kabeh lancar, nggih (Nur, bisa gak, cerita ini jangan sampai menyebar ke teman-teman. Kan jadi gak enak, kalau sampai warga desa dengar, apalagi kita di sini itu sebagai tamu, insyaallah, semua akan baik-baik saja, ya)."

Nur mengangguk, meski enggan menjawab kalimat Widya, dan malam itu, tanpa terasa dilewati begitu saja.

Keesokan harinya, rombongan sudah berkumpul, sesuai janji Pak Prabu, hari ini, akan keliling desa, melihat semua proker yang sudah diajukan oleh Ayu tempo hari, sekaligus, meminta saran untuk proker individu yang harus dikerjakan oleh satu anak sendiri-sendiri.

"Ngene iki, walaupun saya tinggal nang kene, aku yo pernah kuliah loh dek, sarjana lagi," kata Pak Prabu, bahasanya medok, campur-campur antara Bahasa Jawa dan Bahasa Indonesia,

Mendengar itu, Wahyu menimpali, "Iku lo, rungokno bapak'e, walaupun wong deso, gak lali kuliah (itu loh, dengarkan bapaknya, walaupun orang desa, tidak lupa kuliah)."

Wahyu melanjutkan, "bapak'e ambil apa dulu? Perhutanan ya?"

"Bukan," kata beliau santai, "pertanian."

"Lah ra onok sawah nang kene, piye toh pak (lah, di sini gak ada sawah, gimana sih pak)?"

"Ya, memangnya sampeyan pikir hanya karena ambil pertanian harus terjun ke sawah?"

Jawaban Pak Prabu sontak membuat tawa pecah. Widya melirik Nur, dia sudah bisa ceria lagi, melupakan sejenak kejadian semalam.

Sampailah, mereka di pemberhentian pertama. Sebuah pemakaman desa. Aneh, itu yang pertama kali dipikirkan Widya, atau mungkin serombongan orang, di setiap nisan, ditutup oleh kain hitam.

Pemakamannya sendiri, dikelilingi pohon beringin dan di setiap pohon beringin, ada batu besar di sampingnya. Di sana, ada lengkap, sesajen di depannya.

Nur yang tadi ikut tertawa, tiba-tiba menjadi diam. Ia menundukkan kepalanya, seolah tidak mau melihat sesuatu. Pagi itu tiba-tiba terasa gelap di dalam pikiran Widya.

"Ngapunten pak, niki nopo nggih kok... (mohon maaf pak, ini kenapa ya kok...)."

belum selesai Widya bicara, pak Prabu memotongnya.

"Saya tau, apa yang adik mau katakan, pasti mau tanya, kok patek (nisan)-nya, ditutupi pakai kain, gitu to?"

Widya mengangguk. rombongan menatap serius Pak Prabu, terkecuali Wahyu dan Anton. Terdengar mereka sayup tertawa kecil

"Ini itu namanya Sangkarso, kepercayaan orang sini."

"Jadi biar tahu, kalau ini loh pemakaman," terang Pak Prabu, yang jawabannya sama sekali tidak membuat serombongan anak puas, sampai-sampai Wahyu dan Anton walaupun pelan sengaja menyindir.

Namun Pak Prabu bisa mendengarnya.

"Wong pekok yo isok mbedakno kuburan karo lapangan pak (orang bodoh juga bisa membedakan kuburan dan lapangan bola pak)."

Pak Prabu yang awalnya tersenyum penuh dengan candaan, tiba-tiba diam, raut wajahnya berubah dan tak tertebak.

"Semoga saja, kalian tahu yang diomongkan ya."

Kalimat Pak Prabu seperti penekanan yang mengancam, setidaknya itu yang Widya rasakan. Sontak, Bima langsung merespon dengan meminta maaf, namun Wahyu dan Anton memilih diam setelah mendengar respon Pak Prabu.

"Monggo pak, bisa lanjut ke tempat selanjutnya." 

Tempat berikutnya adalah sinden (kolam, tempat air keluar dari tanah). Pak Prabu mengatakan bahwa sinden ini bisa dijadikan Proker paling menjanjikan.

Tidak jauh dari sana ada sungai. Inginnya Pak Prabu, sinden dan sungai bisa dihubungkan, jadi semacam jalan air.

Tanpa terasa, hari sudah siang, Ayu dan Widya sudah memetakan semua yang Pak Prabu tunjukkan, memberinya sampel warna merah sampai biru, dari yang paling diutamakan sampai yang paling akhir dikerjakan.

Namun, tetap saja, selama perjalanan, Widya banyak menemukan keganjilan. Keganjilan yang paling mencolok adalah, tidak satu atau dua kali, namun berkali-kali, ia melihat banyak sesajen yang diletakkan di atas tempeh, lengkap dengan bunga dan makanan yang diletakkan di sana, ditambah bau kemenyan, membuat Widya tidak tenang.

Setiap kali mau bertanya, hati kecilnya selalu mengatakan bahwa itu bukan hal yang bagus.

Nur, setelah dari sinden, ia ijin kembali ke rumah, karena badannya tidak enak, dengan sukarela Bima yang mengantarkannya. Jadi, observasi hanya di lakukan oleh 4 orang saja.

Kemudian, sampailah di titik paling menakutkan.

"Tipak talas." Kalau kata pak Prabu, sebuah batas di mana rombongan anak-anak dilarang keras melintasi sebuah setapak jalan yang dibuat serampangan, di kiri kanan, ada kain merah lengkap diikat oleh janur kuning layaknya pernikahan.

"Kenapa tidak boleh Pak?" tanya Ayu penasaran.

Pak Prabu diam lama, seperti sudah mempersiapkan jawaban namun ia enggan mengatakannya.

"Iku ngunu Alas D****** , gak onok opo-opo'ne, wedine, nek sampeyan niki nekat, kalau hilang, lalu tersesat bagaimana (itu adalah hutan belantara, gak ada apa-apanya, hanya mempertimbangkan, takutnya kalau kalian ke sana, hilang, tersesat, lalu bagaimana)?"

Sekali lagi, jawaban itu cukup membuat Widya yakin itu bukan yang sebenarnya. Namun, perasaan merinding melihat jalanan setapak itu, nyata.

Lanjut gak??

Jadi cuma ngasih tau. Cerita ini sangat panjang, karena gw harus menulis sedetail mungkin setiap kejadian selama 6 minggu itu. gw gak mau kehilangan setiap detail pengalaman si pencerita.

Btw, waktu denger ini, gw itu lemes tiap ingat waktu diceritain lebaran lalu

Observasi berakhir ketika Pak Prabu mengantar rombongan kembali ke rumah beliau.

Ketika kembali, Wahyu dan Anton bertanya, di mana kamar mandi, ia tidak menemukan tempat itu di tempat mereka menginap, rupanya, setiap rumah di desa ini tidak ada satupun yang punya kamar mandi.

Alasan kenapa tidak ada satupun rumah yang memiliki kamar mandi adalah karena sulitnya akses air.

Tapi, Pak Prabu menjelaskan, di bagian selatan sinden, samping sungai, ada sebuah bilik dengan kendi besar di dalamnya, di sana, bisa di gunakan untuk mandi.

Tidak berhenti di situ, Pak Prabu mengatakan bahwa mulai hari ini, kendi di dalam bilik akan diusahakan selalu terisi penuh, terutama untuk mandi anak-anak perempuan.

Untuk laki-laki, bisa mengisi air di kendi dengan cara menimba air dari sungai.

Semua anak tampak paham, meski muka Wahyu dan Anton tampak keberatan, namun mereka tidak dapat melakukan apa-apa.

Sekembalinya ke penginapan, Widya melihat Nur tengah tidur, hari itu diakhiri rapat dengan semua anak, lalu kembali ke kamar untuk mengerjakan laporan.

Sore menjelang malam Nur sudah bangun. Saat itu juga, Widya memintanya untuk mengantarkan dirinya pergi ke kamar mandi di bilik samping sinden. Awalnya Nur tampak tidak mau, tapi karena dipaksa, akhirnya ia pun ikut dengan catatan, Nur adalah yang pertama masuk bilik.

Widya setuju. Ia gak berpikir aneh-aneh.

Selama perjalanan, ia melihat setiap rumah yang dilewati, rata-rata sama, semua rumah tepan (tembok di depan) kiri-kanan dari gedek (bambu dianyam), langit sudah merah, dan setelah menempuh jarak lumayan, akhirnya mereka sampai di sinden.

Bangunan sinden itu menyerupai candi kecil. Bedanya, kolamnya persegi 4 dengan air yang jernih tapi berlumut, setelah mencari-cari dari sinden, ketemulah bilik itu tepat di samping pohon asem, yang besar sekali, rindang, tapi mengerikan.

Sempat ragu, tapi Widya bilang lanjut. Rupanya benar, ada kendi besar di dalam bilik itu.

Air juga sudah penuh di dalam kendi, Nur pun masuk, sementara Widya menunggu di depan bilik, matanya tidak bisa melepaskan diri dari bangunan sinden yang entah kenapa seolah menarik perhatiannya, di sampingnya, ada sesajen itu.

Dari dalam bilik, terdengar suara air bilasan dari Nur, setelah mencoba mengalihkan perhatian dari sinden, Widya baru sadar, ada aroma kemenyan di dekat tempatnya berdiri, di telusurilah wewangian itu, benar saja, di samping pohon asem itu pun ada sesajennya.

Yang lebih parah, bara dari kemenyan baru saja dibakar.

Antara takut dan kaget, Widya kembali ke pintu bilik, dan dari dalam, sudah tidak terdengar suara air bilasan.

"Nur, Nur," teriak Widya sembari menggedor pintu kayu, anehnya, hening, tidak ada jawaban dari dalam.

Masih berusaha memanggil, terdengar sayup suara lirih, lirih sekali sampai Widya harus menempelkan telinganya di pintu bilik.

Suara orang sedang berkidung.

Kidungnya sendiri menyerupai kidung jawa, suaranya sangat lembut, lembut sekali seperti seorang biduan.

"Nur, buka Nur!! Buka!" spontan Widya menggedor pintu dengan keras, dan ketika pintu terbuka, Nur melihat Widya dengan ekspresi wajah panik.

"Nyapo to, Wid (kenapa sih Wid)?"

Ekspresi ganjil Widya membuat Nur kebingungan, terlebih mimik wajahnya mencuri pandang bagian dalam bilik. "Ayo ndang adus, gantian, aku sing gok jobo (ayo cepat mandi, ganti biar aku yang jaga di luar)."

Kaget, Widya sudah ragu, melihat samping bilik ada sesajen, Widya tidak tahu apa harus cerita ke Nur soal itu, namun dengan ragu, Widya akhirnya bergegas masuk bilik, menutup pintu.

Bagian dalam bilik sangat lembab, kayu bagian dalamnya sudah berlumut hitam, di depannya ada kendi besar, setengah airnya sudah terpakai, meraih gayung yang terbuat dari batok kelapa dengan gagang kayu jati yang diikat dengan sulur, Widya mulai membuka bajunya perlahan.

Masih terbayang nyanyian kidung tadi, Widya mencuri pandang, ia tidak sendiri.

Suasananya seperti ada sosok yg melihat dan mengamatinya, dari ujung rambut hingga ujung kaki, sosok itu seperti wajah seorang wanita nan cantik jelita, masalahnya, Widya tidak tau siapa pemilik wajah.

Ia berdiri di depan kendi, bajunya sudah tertanggal, meraih air pertama yang membasuh badannya, Widya merasakan dingin air itu membilas badannya.

Sunyi, sepi, Nur tidak bersuara di luar bilik, memberikan sensasi kesendirian yang membuat bulu kuduk merinding. Setiap siraman air di kepalanya, membuat Widya memejamkan matanya dan setiap ia memejamkan mata, terbayang wajah cantik nan jelita itu sedang tersenyum memandanginya.

Siapa pemilik wajah cantik itu?

Kemudian, kidung itu terdengar lagi, Widya berbalik, mengamati suaranya dari luar bilik, tempat Nur berdiri seorang diri. Apakah Nur yang sedang berkidung?

Pertanyaan itu, menancap keras di kepala Widya. Usai sudah acara mandi di sore itu, di perjalanan pulang, Widya mencuri pandang pada Nur, matanya mengawasi, seakan tidak percaya, kemudian ia bertanya.

"Nur, awakmu isok kidung jawa ya (Nur, kamu bisa bersenandung lagu jawa ya)?"

Nur mengamati Widya, kemudian, ia diam.

Nur pergi tanpa menjawab sepatah katapun dari pertanyaan Widya. Ia seperti membawa rahasianya sendiri, tanpa mau membagi rahasia itu.

Listrik di desa ini menggunakan tenaga genset, jadi ketika jam menunjukkan pukul 9 lampu sudah mati, diganti dengan petromak. Nur sudah pergi tidur, hanya tinggal Widya dan Ayu yang masih menyelesaikan progres untuk proker esok hari.

Widya masih teringat kejadian sore tadi.

Sebenarnya Widya mau cerita, namun bila melihat respon Ayu kemarin, sepertinya ia bakal disemprot dan berujung pada pidato tengah malam.

Di tengah keheningan mereka menggarap progres, tiba-tiba Ayu mengatakan sesuatu yang membuat Widya tertarik. "Mau aku ambek Bima, ngecek progres gawe pembuangan, pas muter deso, iling gak ambek Tapak talas, tibakne, gak adoh tekan kunu, onok omah sanggar. (tadi aku sama Bima, mengecek progres untuk pembuangan, ketika memutari desa, ingat tidak sama Tapak Tilas, ternyata, gak jauh dari sana, ada sebuah bangunan tua menyerupai sanggar)

Widya terdiam beberapa saat, memproses kalimat Ayu

"Loh, awakmu kan wes reti nek gak oleh mrunu (Loh, bukanya kamu sudah mengerti dilarang berada di sana)!!"

"Bukan aku," bela Ayu, "Iku ngunu Bima sing ngajak (yang mengajak Bima). Jarene, onok wedon ayu mlaku mrunu, pas di tut'i, ra onok tibak ne (katanya ada perempuan cantik, pas diikuti ternyata gak ada)."

"Lah trus, awakmu tetep ae mrunu (lah terus kamu tetap ke sana)?"

"Cah iki, yo kan aku ngejar Bima, opo di umbarke ae cah kui ngilang (anak ini, kan saya mengejar Bima, apa dibiarkan saja anak itu nanti hilang)?"

Perdebatan mereka berhenti sampai di sana, namun perasaan Widya semakin tidak enak. Sejak menginjak desa ini, semuanya terasa seperti kacau-balau.

Karena malam semakin larut, Widya pun beranjak pergi ke kamar, di sana ia melihat Nur, sudah terlelap dalam tidurnya. Ayu pun menyusul kemudian, berharap malam ini segera berlalu.

Tiba-tiba terdengar langkah kaki saat Widya melihat apa yang terjadi, bayangan Nur melangkah keluar. Ragu, apakah mau membangunkan Ayu, Widya pun beranjak dari tempatnya tidur, berjalan, mengejar Nur.

Rumah sudah gelap gulita, sang pemilik rumah tampaknya sudah terlelap di dalam kamarnya, di depan Widya, pintu rumah sudah terbuka lebar, dengan perlahan, Widya melangkah ke sana.

Malam itu sangat gelap, lebih gelap dari perkiraan Widya. Bayangan pohon tampak lebih besar dari biasanya dan sayup-sayup terdengar suara binatang malam, sangat sunyi, sangat sepi. Di lihatnya ke sana-kemari mencari di mana keberadaan Nur, Widya terpaku melihat Nur, di depannya.

Nur berdiri di tanah lapang depan rumah, dia menari dengan sangat anggun, tanpa alas kaki, Nur berlenggak-lenggok layaknya penari profesional.

Widya, termangu mematung melihat temannya seperti itu. Ragu, Widya mendekatinya. Tak pernah terpikirkan Nur bisa menari seperti ini.

"Nur," panggil Widya, tapi sosok Nur seperti tidak mendengarkannya, ia masih berlenggak-lenggok, sorot matanya beberapa kali melirik Widya, ngeri, tiba-tiba bulu kuduk terasa berdiri ketika memandangnya.

Dari jauh, sayup-sayup, kendang terdengar lagi, Widya semakin dibuat takut, tabuhan gamelan sahut menyahut, campur aduk dengan tarian Nur yang seperti mengikuti alunan itu.

Kaki seperti ingin lari dan melangkah masuk rumah, tapi Nur semakin menggila, ia masih menari dengan senyuman ganjil di bibirnya. Sampai akhirnya Widya memaksa Nur menghentikan tariannya. Ia berteriak meminta temannya agar berhenti bersikap aneh. Dan saat itulah, wajah Nur berubah menjadi wajah yang sangat menakutkan.

Sorot matanya tajam, dengan mata nyaris hitam semua. Widya menjerit sejadi-jadinya. Kali berikutnya, seseorang memegang Widya kuat sekali, menggoyangkannya sembari memanggil namanya, Wahyu.

Widya melihat Wahyu yang menatapnya dengan tatapan bingung plus takut.

"Bengi-bengi lapo As* nari-nari gak jelas nang kene (malam-malam ngapain anji*g!! nari sendirian di sini seorang diri)!!"

Jeritan Widya rupanya membangunkan semua orang, termasuk si pemilik rumah. Widya melihat sorot mata semua orang memandangnya, tak terkecuali Nur yang rupanya baru saja keluar dari dalam rumah.

"Onok opo to ndok (ada apa sih nak)?" kalimat itulah yang pertama kali Widya dengar. Si pemilik rumah tampak khawatir, namun Widya lebih tertuju pada Nur, ia juga memandang dirinya, mereka sama-sama termangu memandang satu sama lain.

Kejadian itu, diakhiri dengan cerita Wahyu.

Wahyu menceritakan semuanya, awalnya ia hanya ingin mengisap rokok sembari duduk di teras posyandu, kemudian ia tidak sengaja melihat seseorang, sendirian, menari-nari di tanah lapang, karena penasaran, Wahyu mendekat, sampai Wahyu baru sadar bila yang menari itu adalah Widya.

Semua yang mendengarkan cerita Wahyu hanya bisa menatap nanar, tidak ada yang berkomentar. Si pemilik rumah akhirnya menyuruh mereka semua bubar dan masuk ke dalam rumah lagi, karena hari semakin larut.

Si pemilk rumah, berjanji akan menceritakan ini kepada Pak Prabu. Namun ada satu hal, yang sengaja Wahyu tidak ceritakan, nanti, ia akan menjelaskan semuanya.

Namun malam itu, benar-benar malam yang gila, seolah-olah menjadi pembuka rangkaian kejadian yang akan mereka hadapi di sela tugas KKN mereka ke dalam situasi yang paling serius.

Semua orang sudah berkumpul, memenuhi panggilan Pak Prabu. Beliau bertanya tentang bagaimana kronologi kejadian. Ayu mengaku tidak tahu, Widya mengatakan ia sedang mengejar Nur yang pergi keluar rumah, namun Nur mengatakan ia hanya pergi ke dapur untuk mencari air minum.

Semua penjelasan itu tidak membantu sama sekali, namun tampak dari raut muka Pak Prabu, ia lebih tertarik bagaimana Widya bisa menari bila latar belakangnya saja bahwa ia mengaku tidak pernah belajar menari sebelumnya

Hari itu, Pak Prabu meminta Widya, Ayu dan Wahyu, menemaninya. Nur pergi, ia masih harus mengerjakan proker individualnya.

Dengan berbekal motor butut yang tempo hari digunakan untuk mengantar mereka masuk ke desa ini, kali ini digunakan untuk mengantar mereka ke rumah seseorang.

Wahyu dengan Widya, Pak Prabu berboncengan dengan Ayu. Jalur yang mereka tempuh hampir sama dengan jalur yang tempo hari, anehnya, kali ini Widya merasakan sendiri, untuk sampai ke jalan raya tidak sampai 1 jam, malah tidak sampai 30 menit, lalu, bagaimana bisa ia merasakan waktu selambat itu pada malam ketika orang-orang desa menjemput.

Rumah yang Pak Prabu datangi, rupanya rumah seseorang.

Melintasi jalan besar, lalu masuk lagi ke sebuah jalan setapak buatan, Rumahnya bagus, malah bisa di bilang paling bagus dibandingkan rumah orang-orang desa, hanya saja, rumah itu berdiri di tengah sisi hutan belantara lain.

Berpagar batu bata merah, dengan banyak bambu kuning, rumah itu terlihat sangat tua, namun masih enak dipandang mata.

Di depan rumah, ada orang tua, kakek-kakek, sepuh, berdiri seperti sudah tau bahwa hari ini akan ada tamu yang berkunjung. Tidak ada yang tahu nama kakek itu, namun Pak Prabu memanggilnya mbah Buyut. Setelah Pak Prabu selesai menceritakan semuanya, wajah mbah Buyut tampak biasa saja, tidak tertarik sama sekali dengan cerita Pak Prabu yang padahal membuat semua anak-anak masih tidak habis pikir.

Sesekali memang mbah Buyut terlihat menatap Widya, terkesan mencuri pandang, namun ya begitu, hanya sekadar mencuri pandang saja, tidak lebih.

Dengan suara serak, mbah Buyut pergi ke dalam rumah, beliau kembali dengan 5 gelas kopi yang di hidangkan di depan mereka.

"Monggo (silahkan)," kata beliau, matanya memandang Widya.

Melihat itu, Widya menolak, mengatakan dirinya tidak pernah meminum kopi, namun senyuman ganjil mbah Buyut membuat Widya sungkan, yang akhirnya berbuntut ia meneguk kopi itu meski hanya satu tegukan saja.

Kopinya manis, ada aroma melati di dalamnya, yang awalnya Widya hanya mencoba-coba tanpa sadar, gelas kopi itu sudah kosong.

Tidak hanya Widya, semua orang ditegur agar mencicipi kopi buatan beliau, katanya tidak baik menolak pemberian tuan rumah. Semua akhirnya mencobanya.

Berikutnya, Wahyu dan Ayu kaget setengah mati, sampai harus menyemburkan kopi yang ia teguk, mimik wajahnya bingung, karena rasa kopinya tidak hanya pahit, tapi sangat pahit, sampai tidak bisa ditolerin masuk ke tenggorokan.

Anehnya, Pak Prabu meneguk kopi itu biasa saja. "Begini," kata mbah Buyut, beliau menggunakan bahasa Jawa halus sekali, sampai ucapannya kadang tidak bisa dipahami semua anak. Ada kalimat penari dan penunggu, namun yang lainnya tidak dapat dicerna.

Ia menunjuk Widya tepat di depan wajahnya, mimik wajahnya sangat serius.

Pak Prabu mendengarkan dengan seksama, lalu berpamitan pulang.

Sebelum mereka pulang, mbah Buyut memberi kunir tepat di dahi Widya, katanya untuk menjaga Widya saja.

Kunjungan itu sama sekali tidak diketahui tujuannya. Selama perjalanan, Pak Prabu bercerita, tentang kopi. Kopi yang dihidangkan mbah Buyut tadi adalah Kopi ireng yang diracik khusus untuk memanggil lelembut, demit dan sejenisnya.

Bukan kopi untuk manusia, mereka yang belum pernah mencobanya, pasti akan memuntahkannya. Namun, bagi lelembut dan sebangsanya, kopi itu manis sekali.

Semua anak memandang Widya. Namun Pak Prabu segera mengatakan hal lain. "Sepurane sing akeh nduk, sampeyan onok sing ngetut'i (mohon maaf ya nak, kamu, ada yang mengikuti)."

Selain mengatakan itu, Pak Prabu juga mengatakan bahwa tidak perlu takut, karena Widya tidak akan serta merta di apa-apakan, hanya diikuti saja. Yang lebih penting, Widya tidak boleh dibiarkan sendirian, harus selalu ada yang menemaninya. Untuk itu, Pak Prabu punya gagasan. Mulai malam ini, mereka akan tinggal dalam satu rumah, hanya dipisahkan oleh sekat dari bambu anyam, Pak Prabu hanya meminta satu hal, jangan melanggar etika dan norma saja.

Pertemuan itu juga diminta untuk tidak diceritakan ke siapapun lagi, bahkan Nur, Anton dan Bima.

Tempat tinggal mereka yang baru tepat ada di ujung, cukup besar, dan bekas rumah keluarga yang merantau, sekaligus hal ini menjawab pertanyaan kenapa jarang ditemui anak seumuran mereka di desa ini, rupanya, kebanyakan anak-anak yang sudah akil baligh pasti pergi merantau.

Di belakang rumah, ada watu item (batu kali) cukup besar, dengan beberapa pohon pisang dan dikelilingi daun tuntas.

Anton awalnya tidak setuju mereka pindah, karena atmoser rumahnya yang memang tidak enak dan itu bisa terlihat dari luar, namun ini, perintah dari Pak Prabu. Setelah kejadian itu, Ayu sedikit menghindari Widya.

Widya paham akan hal itu, namun Wahyu sebaliknya, ia mendekati Widya dan memberi semangat agar tidak mencerna mentah-mentah pesan orang tua itu.

Di sini Wahyu bercerita kejadian yang tidak ia ceritakan di malam kejadian itu. "Wid, kancamu cah lanang iku, gak popo tah (Wid, temanmu yang cowok itu baik-baik saja kah)?"

"Maksud'e mas?"

"Cah iku, ben bengi metu Wid, emboh nang ndi, trus biasane balik-balik nek isuk, opo garap proker tapi kok bengi (temanmu itu, setiap larut malam keluar Wid, entah kemana, trus biasanya baru balik pagi, apa sedang mengerjakan prokernya tapi kok harus malam)?"

"Ra paham aku mas (gak ngerti aku mas)."

"Trus," kata Wahyu, "aku sering rungokno, cah iku ngomong dewe nang kamar (aku sering denger anak itu ngomong sendirian di dalam kamar)."

"Ra mungkin tah mas (gak mungkinlah mas)."

"Sumpah!! Gak iku tok, kadang, cah iku koyok ngguyu-ngguyu dewe, stress palingan (gak cuma itu, kadang dia tertawa sendirian, gila kali anak itu)."

"Bima iku religius mas, ra mungkin aneh-aneh (Bima itu religius, gak mungkin aneh-aneh)."

"Yo wes, takono Anton nek ra percoyo, bengi sak durunge aku eroh awakmu nari, Bima asline onok nang kunu, arek'e ndelok tekan cendelo, paham awakmu sak iki. Gendeng cah iku. (ya sudah, tanya Anton kalau gak percaya, malam sebelum kejadian itu, Bima sebenarnya ada di kejadian, dia cuma lihat kamu dari jendela, paham kamu sekarang, gila itu anak)."

Widya diam lama, memproses kalimat itu, ia melihat Wahyu pergi dengan raut wajah kesal.

Malam semua anak sudah berkumpul, Nur ada di kamar, dia sedang sholat.

Widya di ruang tengah sendirian, sedangkan Ayu, Wahyu dan Anton ngobrol di teras rumah, Bima, ada pertemuan dengan Pak Prabu.

Sebelum suara kidung terdengar lagi, suaranya dari arah pawon (dapur) untuk mencapai pawon, Widya melewati kamar, di sana Nur sedang bersujud, semakin lama, suaranya semakin terdengar dengan jelas.

Pawon rumah ini hanya ditutup dengan tirai, saat Widya menyibak tirai, ia melihat Nur, sedang meneguk air dari kendi, lengkap dengan mukenanya.

Widya mematung, diam, lama sekali, sampe Nur yang meneguk dari kendi melihatnya.

Mata mereka saling memandang satu sama lain.

"Lapo Wid (kenapa Wid)?" tanya Nur.

Widya masih diam, Nur pun mendekati Widya, sontak Widya langsung lari, dan melihat isi kamar, di sana, tidak ada Nur

"Onok opo toh asline (ada apa tah sebenarnya)?" tanya Nur yang sekarang di samping Widya, ia memegang bahu Widya.

Dingin, tangan Widya masih gemetaran, sampai semua anak melihat mereka kemudian mendekatinya.

"Lapo kok rame'ne (kenapa kok rame sekali)," tegur Ayu.

"Gak eroh, cah iki ket maeng dijak ngomong ra njawab-njawab (gak tau, anak ini ditanya dari tadi gak jawab-jawab)."

"Lapo Wid?" Wahyu mendekati

"Tanganmu kok gemeteran ngene, onok opo sih (tanganmu kenapa gemetaran begini, ada apa sih)?" tanya Anton.

"Nur, jupukno ngombe kunu loh, kok tambah meneng ae (Nur, ambilkan air gitu loh, kok malah diam saja)," tegur Anton.

Nur kembali dengan teko kendi yang tadi, dia memberikanya pada Widya, dan Widya kemudian meneguknya. Lalu, tiba-tiba Widya diam lagi membuat semua orang bingung.

Tangan kiri Widya masih memegang teko, sedangkan tangan kanannya, terangkat lalu masuk ke dalam mulut, di sana, Widya berusaha mengambil sesuatu, ada 2 sampai 3 helai rambut hitam, panjang, dan itu keluar dari dalam mulut Widya.

Semua yang menyaksikannya, beringsut mundur, kaget. Begitu penutup tekonya dibuka, di dalamnya, ada segumpal rambut, benar-benar segumpal rambut dengan air di dalamnya.

Nur yang melihatnya langsung bereaksi. "Aku mau yo ngombe teko kunu, gak eroh aku onok barang ngunu'ne (tadi aku juga minum dari situ, gak tau ada begituannya)."

Widya muntah sejadi-jadinya. Saat keadaan tegang seperti itu, Anton tiba-tiba mengatakan, "awakmu diincer yo Wid, jare mbahku, nek onok rambut gak koro metu, iku biasane nek gak disantet yo diincer demit. (kamu diincar ya Wid, kata mbahku, kalau tiba-tiba muncul rambut, itu biasanya kalau gak disantet ya di incar makhluk halus)."

Nur, kemudian mengatakannya.

"Wid, opo penari iku jek ngetuti awakmu, soale ket wingi aku wes ra ndelok gok mburimu maneh (Wid, apa penari itu masih ngikutin kamu, soalnya dari kemarin aku belum lihat dia di belakangmu)."

Berhari-hari setelah pengakuan Nur itu, membuat Widya semakin was-was, ia jatuh sakit selama 3 hari, dan selama itu juga, Widya hanya terbaring di atas tikar kamar.

Nur tidak melanjutkan lagi ceritanya, karena katanya ia sudah salah mengatakannya, seharusnya ia menahan cerita itu.

Selama Widya terbaring sakit, ia seringkali ditinggal sendirian di dalam rumah itu, dan selama tinggal di rumah itu, ada satu kejadian yang tidak akan pernah Widya lupakan.

Semua dimulai ketika ia hanya berbaring di atas tikar. Ayu dan Nur berpamitan akan memulai proker mereka. Anak-anak cowok juga memulai proker mereka masing-masing.

Seharusnya, tidak ada satupun orang di rumah itu. Namun, siang itu terdengar suara sesuatu yang dipukuli. Hal itu menimbulkan rasa penasaran, suaranya seperti benturan antara lempengan yang keras.

Awalnya Widya menghiraukannya,  namun semakin lama Widya tidak tahan dan akhirnya memeriksanya.

Suara itu terdengar ada di belakang rumah, tepat di samping pawon (dapur). Maka Widya pergi ke sana, saat ia sampai di pintu pawon, yang terbuat dari kayu, Widya berhenti, di sela-sela pintu.

Widya mengintip. Alangkah bingungnya Widya, melihat di antara pohon pisang, ada seorang bapak, usianya berkisar antara 50-an, menggunakan pakaian hitam ala orang yang akan berkebun, ia berdiri di antara pohon pisang.

Matanya tampak mengawasi rumah yang menjadi penginapan Widya selama KKN.

Lama sekali, bapak itu berdiri mengawasi penginapan Widya, gerak-geriknya sangat mencurigakan, seperti ingin masuk ke rumah. Namun, bapak itu ragu-ragu.

Ketakutan, tiba-tiba terasa di dalam diri Widya, kemudian, selang beberapa menit, bapak itu pergi meninggalkan tempat itu.

Rasa lega, bapak itu pergi, Widya berniat kembali ke kamar, di sana ia melihat Anton, baru saja masuk rumah, mereka berpapasan, bodohnya, Widya tidak menceritakan hal itu kepada Anton dan anak lain, karena keesokan harinya, peristiwa yang sama itu, kembali terulang.

Diawali suara keras yang sama, Widya kembali mengintip, kali ini, bapak itu lebih berani, ia melihat ke sana-kemari, mendekati penginapan dan beberapa kali berusaha mengintip, dari gerak-geriknya, tampaknya bapak itu berniat buruk, masalahnya, apa yang ingin dia cari di sini.

Memikirkan hal itu, Widya tiba-tiba seperti baru ingat, ia hanya di rumah ini sendirian, seorang wanita, sendirian di dalam rumah, dan seorang pria asing, mendekati rumah itu.

Apalagi kalau bukan sesaat, ketika si bapak sudah berdiri di depan pintu pawon, suara itu mengejutkannya. Suara keras itu rupanya dari batu di belakang pawon, keras sekali sampai membuat si bapak lari tunggang langgang, Widya menyaksikannya sendiri.

Ada yang melempar batu cukup besar, tepat di watu item (batu kali) di belakang rumah. Sehingga si bapak panik dan pergi.

Widya ikut pergi. Widya melaporkannya pada Pak Prabu, yang ikut kaget mendengarnya. Dicarilah si bapak itu dan ketemu. Rupanya dia adalah warga desa sana. Ketika ditanya apa yang dia lakukan di rumah anak-anak KKN, bapak itu mengatakan sesuatu, yang entah benar atau tidak, bila ia melihat wanita. Wanita yang dilihat si bapak ini, mengenakan pakaian seperti dayang (penari) dan ia masuk rumah ini.

Namun karena beliau takut disangka melakukan hal-hal tidak baik, ia memeriksanya diam-diam. Tapi, di hari dimana ia lari tunggang-langgang, ia melihat sesuatu di pawon rumah. Ia melihat wanita itu di dalam pawon rumah, ia sedang menari dengan anggun.

Sesaat sebelum ia melihat wajahnya, si bapak kaget setengah mati, karena di balik sirat wajah wanita yang disangka terlihat jelita itu, rupanya polos, rata tak ada bentuk.

Apa yang diucapkan si bapak memang tidak dapat dipercaya, namun Pak Prabu tidak punya bukti lebih jauh, maka Pak Prabu hanya menegur agar tidak melakukan hal itu lagi, si bapak pun pergi.

Namun, Pak Prabu mengatakan hal lain yang membuat Widya begidik ngeri.

"Onok sing nyoba ngbari sampeyan mbak (ada yang mencoba memberi pesan sama kamu mbak)."

"Sinten Pak (siapa Pak)?"

"Mbah-mbah sing nunggu nang watu item (kakek-kakek penjaga batu kali itu)."

Setelah kejadian itu, Widya diminta ke rumah Pak Prabu bila masih sakit. Namun, ada kejadian lagi yang Widya alami, kali ini melibatkan Nur.

Waktu itu siang hari, Widya sedang mengerjakan prokernya yang sudah tertunda beberapa hari. Wahyu mendekati Widya, ia menawarkan kesempatan untuk keluar desa. Sementara karena harus membeli perlengkapan untuk progress kerjanya yang harus dibeli di kota.

"Melu mboten (ikut gak)?"

"Adoh gak (jauh gak)?"

"2 jam," kata Wahyu.

"Aku wes ijin Pak Prabu, oleh nyilih motor'e (aku sudah ijin Pak Prabu, boleh pinjem motornya)."

"Nggih pon, melu (ya sudah, ikut)."

Wahyu melihat jam di tangannya, pukul 11 lewat, ia harus cepat menyelesaikan urusannya di kota. Karena sesaat sebelum meminta ijin, Pak Prabu sudah mewanti-wanti untuk sudah kembali sebelum hari petang.

Saat Wahyu menanyakan kenapa harus seperti itu, toh ada jalan setapak yang gampang ditelusuri untuk masuk ke hutan ini.

Dengan wajah tidak tertebak, Pak Prabu mengatakan, "gak onok sing ngerti opo sing onok gok jero'ne alas le (tidak ada yang pernah tau apa yang tinggal di dalam hutan nak)."

Mereka berangkat menembus jalan setapak. Lalu sampai di jalan raya besar, menyusurinya, jauh, sangat jauh. Sampai akhirnya mereka tiba di kota B. Di sana mereka berhenti di sebuah pasar, Wahyu dan Widya mulai mencari segala keperluan mereka.

Kurang lebih setelah 2 jam mencari ke sana ke mari dan setelah mendapatkannya, mereka langsung cepat kembali.

Wahyu berhenti di pom bensin, ia harus mengembalikan motornya dalam keadaan bensin full, etika ketika meminjam barang orang lain.

Jam sudah menunjukkan pukul 4, sudah terlalu sore. Sejenak ia melihat Widya dari jauh, ia berhenti tepat di samping penjual cilok. Ketika Wahyu sampai di sana, ia membeli beberapa cilok untuk Widya dan dirinya sendiri. Saat itulah, si penjual cilok melihatnya seperti ingin menyampaikan sesuatu.

"Masnya pendatang?" kata orang itu.

"Mboten Pak, kulo KKN ten mriki (tidak pak, saya hanya KKN di sini)."

"Tetep ae, wong joboh to (tetap saja, orang luar, kan)," kata si penjual, masih melihat Widya dan Wahyu bergantian.

"Nek oleh takon, masnya sama mbaknya KKN di mana?"

Wahyu menceritakan semuanya, termasuk tempat KKN nya, saat itu juga terlihat jelas sekali perubahan wajah si penjual.

"Loh, sampeyan berarti mari iki liwat Alas D********* (berarti sebentar lagi anda akan lewat di hutan **********)?"

"Nggih Pak (iya pak)."

"Loh, loh, halah dalah, wes yang mene mas, opo ra isok mene ae mas, sampeyan golek penginapan ae, soale nek jam yang mene, jarang onok sing liwat (sudah jam segini mas, apa gak bisa besok saja mas, cari saja penginapan, soalnya jam segini sudah jarang ada yang lewat)," kata si bapak.

"Mboten pak, kulo bablas mawon (tidak pak, saya lanjut saja)," kata Wahyu.

"Ngeten mas, isok kulo nyuwun waktu'ne sampeyan (gini mas, bisa saya minta waktunya sebentar)?" Si penjual cilok, tiba-tiba mengatakan hal itu dengan wajah tegang. 

"Nggih Pak," kata Wahyu.

Widya yang sedari tadi memilih diam, hanya mendengarkan saja saat penjual cilok itu menceritakan apa yang harus mereka lakukan saat masuk ke Alas **********

"Ngeten mas (begini mas)."

"Engken, bade sampun mlebet nang Alas'e sampeyan mlaku ae teros (nanti setelah kalian sampai dan masuk ke jalanan hutannya, jalan saja ya terus)."

"Ora usah mandek, utowo ngeladeni opo ae, ngerti ya mas (gak usah berhenti, apalagi mengurusi hal apapun, sampai sini paham ya mas)."

"Ojok lali, moco dungo'e sing katah" (jangan lupa doanya yang banyak)."

"Sing paling penting, nek sampeyan krungu suoro ra onok wujud'e, tetep lanjut, bade sampeyan sampe digawe ciloko, nek isok lanjut, lanjut ae, ra usah diurus mas, sampeyan percoyo ae, dungo nggih. (yang paling penting, jika kalian dengar suara tanpa wujud, tetap lanjut saja. Jika sampai kalian dibikin celaka, lalu kalian masih bisa melanjutkan, lanjutkan saja, jangan pernah berhenti di sana, yang penting tidak usah diperdulikan, kalian percaya saja, doanya juga utamakan)."

Widya tidak pernah mendengar ada orang yang sampai bercerita dengan mimik wajah yang tegang, bahkan bibirnya gemetar saat menceritakan.

"Kulo dongakno sampeyan sampeyan selamet sampai nang tujuan (saya doakan kalian selamat sampai tujuan)."

Tepat ketika langit sudah kemerahan, mereka melanjutkan perjalanan. Di belakang, Widya mulai merasakan angin dingin, melewatinya begitu saja.

Tidak pernah disangka, jalan masuk hutan, lebih gelap ketika petang sudah mulai menjelang.

Cahaya motor yang dikendarai Wahyu menembus kegelapan malam, kilasan pohon hutan di samping kiri kanan jalan menjadi pemandangan tak terelakkan. Hanya suara motor yang mampu menghidupkan sepi senyap di sepanjang jalan, karena benar saja, tak ditemui satupun pengendara lain di sini.

Wahyu mencoba mencairkan suasana dengan berandai-andai bagaimana bila motor mogok atau ban meletus di tengah antara hutan ini sementara belum ditemui satupun pengendara yang lewat.

Widya hanya menanggapi kecut, takut bila pengandaian Wahyu terjadi pada mereka, dan benar saja, motor mereka ngadat tepat setelah Wahyu mengatakan itu.

Widya, diam seribu bahasa, hal kurang pintar dari manusia sejak dulu kala adalah memikirkan sesuatu yang buruk di kondisi yang buruk yang bahkan tidak seharusnya mereka lakukan manakala doa bisa saja dikabulkan sewaktu-waktu.

"Mlaku o disek, ben aku isok nyawang awakmu (jalan saja dulu, biar aku bisa tetap memantau kamu)," kata Wahyu.

Sudah tidak tahan mendengar berapa kali kata "goblok" keluar dari mulut Widya, sepanjang mereka berjalan sendirian menyusuri jalan ini sembari mencoba menstarter motor.

Entah berapa lama mereka berjalan, dan masih belum ditemui satupun pengendara yang dimintai pertolongan.

Wahyu masih melihat Widya, berjalan sendirian di depan, tak sekalipun wajahnya menengok Wahyu seolah Wahyu sudah melakukan kesalahan paling fatal, yang pernah Wahyu buat. Sampai, langkah kakinya berhenti.

Widya, menghentikan langkah kakinya, Wahyu yang melihat itu, tiba-tiba merasa ada sesuatu yang salah, pasti.

"Nek sampek awakmu kesurupan, bener-bener parah awakmu, gak isok ndelok sikonku nyurung montor ket mau (kalau sampai kamu kesurupan, bener-bener keterlaluan kamu, apa gak bisa lihat kondisiku sudah capek dorong motor dari tadi)."

Widya melihat Wahyu, mata mereka saling memandang satu sama lain.

"Yu, krungu ora? Suara mantenan (Yu, dengar tidak? Ada suara hajatan)?"

Bukan mau mengatakan Widya sinting, tapi, Wahyu juga mendengarnya, dan suara itu tidak jauh dari tempat mereka.

"Wid, eleng gak, jare wong dodol cilok, nek onok opo-opo lanjut ae (Wid, inget gak kata penjual cilok, jangan berhenti walau ada apapun, kita lanjut saja)."

Seperti kata Wahyu, Widya pun melanjutkan perjalanan, semakin mereka berjalan, semakin keras suara itu, dan semakin lama, diiringi suara tertawa dari orang-orang yang sedang melangsungkan hajatan.

Sampai, dilihatnya, terdapat janur kuning melengkung. Di sana, Widya melihatnya sebuah pesta, tepat di sebuah tanah lapang samping jalan raya, seperti sebuah area perkampungan. Di sana, lengkap dengan orang-orangnya, juga panggung tempat musik didendangkan.

Wahyu dan Widya, terdiam cukup lama, seperti termenung memastikan bahwa yang mereka lihat, manusia.

Tidak ada angin, tidak ada hujan, Wahyu dan Widya tercekat saat ada orang tua bungkuk bertanya tiba-tiba tepat di samping mereka.

"Nopo le (ada apa nak)?" suaranya halus sekali, sangat halus. "Sepeda'e mblodok (motornya mogok)?"

Wahyu dan Widya hanya mengangguk, pasrah.

Si orang tua memanggil anak-anak yang lebih muda, kemudian menuntun sepeda. Menepi dari jalan raya, tidak lupa, si orang tua mempersilahkan Wahyu dan Widya istirahat sebentar, sembari menunggu motornya dibetulkan.

Suanasanya ramai, semua orang sibuk dengan urusanya sendiri-sendiri. Ada yang bercanda, ada yang mengobrol satu sama lain, ada yang menikmati alunan gamelan yang ditabuh seirama, lengkap dengan si pengantin yang terlihat jauh dari tempat Wahyu dan Widya duduk.

"Aku ra eroh nek onok kampung nang kene (aku tidak tau ada kampung disini)."

Widya hanya diam saja, matanya fokus pada panggung, di depan penabuh gamelan masih ada ruang. Acara apa yang akan mereka adakan dengan ruang seluas itu.

Rupanya, pertanyaan Widya segera terjawab. Dari jauh, tiba-tiba tercium aroma melati. aroma yang familiar bagi Widya, diikuti serombongan orang.

Di hadapanya ada seorang penari, ia di tuntun naik ke atas panggung. Kemudian, semua orang memandang pada satu titik, tempat penari mulai berlenggak lenggok di atas panggung. Semua mata, seperti terhipnotis melihatnya.

"Ayu'ne curr!!"(cantik sekali anj*ng)," kata Wahyu

Bingung, apakah hanya perasaan saja, mata si penari beberapa kali mencuri pandang pada Widya. Ia seperti mengenal penari itu, tapi, tidak ada yang tau siapa si penari.

Sampai si bapak tua kembali, menawarkan makanan pada mereka. Wahyu yang mungkin lapar, melahap habis mulai dari lemper sampai apem di hadapannya, sembari bercakap-cakap sama si bapak tua.

Namun, Widya lebih suka melihat si penari, ia mampu membuat semua orang tertuju melihatnya, menatapnya dengan tatapan yang menghipnotis.

Setelah si penari turun dari panggung, si bapak mengatakan, motor mereka sudah selesai, bisa dinaikin lagi, benar saja.

Motor mereka sudah bisa dipakai lagi. Sebelum pergi, Wahyu dan Widya berpamitan, mereka berterimakasih sudah mau menolong mereka yang kesusahan.

Si bapak mengangguk, mengatakan mereka harus hati-hati, tidak lupa si bapak memberi bingkisan, menunjukkan isinya pada Wahyu dan Widya. Itu adalah jajanan yang dihidangkan tadi, membungkusnya dengan koran. Widya menerimanya, mengucap terima kasih lagi, lalu lanjut pergi.

Tidak ada yang seheboh Wahyu, yang terus berbicara tentang cantiknya paras si penari, kisaran usianya mungkin lebih tua dari mereka, namun, cara dia berdandan, bisa menutupi usianya sehingga dari jauh, kecantikannya terlihat begitu sulit digambarkan.

Widya, lebih tertarik dengan kampung itu. Demi apapun, sewaktu perjalanan, tidak ditemui satu kampung pun, jangankan kampung, warung saja tidak ada sama sekali.

Namun, motor Wahyu benar-benar mereka betulkan, dan mereka tulus membantu tanpa meminta apapun. Jadi, apa mungkin, hantu bisa membetulkan motor.

Satu yang coba Widya yakini, mungkin mereka tidak melihat kampung tadi saja, yang terpenting, di jalan setapak ini, desa KKN mereka sudah semakin dekat.

Sesampainya di kampung, Wahyu pergi mengembalikan motor, sedangkan Widya sudah ditunggu oleh semua anak, mereka khawatir, berdiri menunggu di teras rumah.

"Tekan ndi seh? Kok suwe'ne (dari mana sih? kok lama sekali)," kata Ayu,

"Tekan Kota, belonjo keperluan kene (dari kota belanja keperluan kita)."

Nur membuang muka melihat Widya. Sudah biasa, kadang Nur memang seperti itu, setelah dia menceritakan kejadian kemarin, ia tidak lagi mau membicarakan itu. Sekarang, dia sedikit menjauhi Widya, dan ia merasakan itu, sangat terasa.

Di suasana tegang itu, hanya Bima yang mencoba mencairkan suasana.

"Wes ta lah, kok kaku ngene seh (sudahlah, kok canggung gini)."

Bima menggandeng Widya, menyuruhnya masuk rumah.

"Awakmu pegel, kan (kamu pasti capek kan)."

Tidak beberapa lama, Wahyu sudah datang, ia masuk ke rumah tanpa membuang-buang waktu, alih-alih ia istirahat, Wahyu dengan suara menggebu-gebu bercerita kalau baru saja mengalami kejadian tidak mengenakan atas insiden motor, sampai dibantu, orang kampung.

Tidak lupa, ia bercerita tentang penari yang ia temui, kecantikannya, ia ceritakan semua.

Bukan sambutan yang Wahyu dapat, tapi tatapan kebingunganlah yang pertama Wahyu lihat.

"Ra onok deso maneh nang kene (tidak ada desa lagi di sini)," kata Bima. Wahyu yang mendengar itu tidak terima.

"Eroh tekan ndi awakmu (tahu darimana kamu)?"

"Aku wes sering nang kota (aku sudah sering ke kota)."

"Prokerku onok hubungane ambek program hasil alam, dadi sering melu nang kota mabek wong kene (Prokerku berhubungan sama program hasil alam, jadi sering ikut ke kota sama orang sini)

"Sampe sak iki, aku rong eroh onok deso maneh nang kene (sampai sekarang, aku belum nemuin satu lagi kampung di dekat sini)."

"Ngomong opo, mbujuk (bicara apa, nipu)," kata Wahyu geram.

"Mas," kata Nur, "pancen ra onok deso maneh nang kene, kan wes tau dibahas (Mas, memang gak ada lagi desa di sini, kan sudah pernah dibahas dulu)."

"Koen kabeh nek ra percoyo, tak dudui bukti, nek aku ketemu wong deso liane (kalian kalau gak percaya tak kasih bukti kalau ada desa lain di sekitar sini)."

Widya yang sedari tadi diam, tiba-tiba ditarik oleh Wahyu.

"Takono ambek Widya nek ra percoyo (tanya sama Widya kalau tidak percaya)."

Widya masih diam lama. Sementara yang lain menunggu Widya berbicara, hal yang membuat Widya bingung adalah, kopi.

Sadar atau tidak, Widya sempat merasakan aroma kopi yang manis itu di jajanan yang ia cicipi, rasanya sama persis.

Karena tidak sabar, Wahyu membuka paksa tas Widya dan mengambil bingkisan itu, bukan koran lagi yang Wahyu temuin, namun, daun pisang yang terbungkus di jajanan pemberian bapak tua itu. Tepat ketika Wahyu membuka bingkisan itu.

Semua orang melihat isi di dalam bingkisan itu, berlendir, dan aromanya sangat amis, tidak salah lagi, di dalam bingkisan itu adalah kepala monyet yang masih segar dengan darah di daun pisangnya.

Setelah kejadian malam itu, Wahyu mengurung diri dalam kamar 3 hari lamanya. Kadang, ia masih tidak percaya dengan hal itu. Namun, bila mengingat bagaimana kepala-kepala monyet itu jatuh dari tangannya, rasa mualnya akan kembali membuat Wahyu harus memuntahkan isi perutnya.

Widya hanya mengulang kalimat mbah Buyut, jangan menolak pemberian tuan rumah.

Sejatinya, Wahyu dan Widya sudah benar, meski ia tahu semua itu ganjil, namun mereka harus tetap mencicipinya, yang jadi masalahnya, hanya Widya yang sadar, bahwa yang menemani mereka bukanlah manusia.

Seandainya saja, Widya mengatakan keganjilan itu kepada Wahyu, menolak pertolongan mereka, menolak pemberian mereka.

Mungkin jalan cerita semua ini akan benar-benar berbeda, bisa saja. Justru, penolakan seperti itu akan mendatangkan bala (bencana) bagi mereka.

Apapun itu, Widya sudah mengerti satu hal, ada hubungan yang secara tidak langsung tentang dirinya dan sang penari.

Malam itu, Widya baru selesai melihat prokernya yang dibantu beberapa warga desa. Ketika langit sudah gelap gulita, Widya menyusuri jalan setapak desa.

Seperti biasa, suara binatang malam mulai terdengar, ia terus berjalan sampai melihat rumah tempat mereka menginap.

Seharusnya yang lain sudah ada di rumah, entah mencicil laporan proker atau mungkin sejenak beristirahat. Namun anehnya, lampu petromax yang seharusnya menyala di depan rumah, mati, membuat rumah itu terlihat lebih sunyi, kelam, dan mengerikan. Seolah rumah itu memanggil namanya.

Wes biasa, batin Widya, memantapkan hatinya. Rumah ini memang masih terbilang baru bagi Widya dan yang lainnya. Namun, tempo hari, mendengar bahwa ada penunggu di belakang rumah, membuat Widya kadang tidak tenang, dan beberapa kejadian ganjil hampir pernah Widya alami.

Hanya saja apa yang Widya alami, apakah juga mereka alami, hanya saja mereka menutupi dan lebih memilih diam.

Kini, Widya sudah ada di depan pintu, mengetuknya, mengucap salam, dan kemudian melangkah masuk. Dilihatnya ruang tengah, tempat biasa Ayu ada di sana, menulis laporan.

Sayangnya tidak ada Ayu di sana. hanya ruangan kosong. Di teras rumah pun sama, seharusnya Wahyu dan Anto ada di sana, sedang bercanda seputar apa yang mereka lakukan hari ini di temani asap rokok dari mulut mereka, atau suara Nur yang sedang mengaji dan Bima yang entah apa yang ia lakukan.

Selama tinggal di rumah ini, hanya Bima, yang masih terasa asing bagi Widya. Sayangnya, malam itu, tak ditemui satupun penghuni rumah ini. Apakah Widya terlalu sore untuk pulang, sedangkan yang lain masih sibuk mengurus proker mereka masing-masing bersama warga.

Entahlah. Widya bersiap masuk ke kamar. Saat, sekelebat perasaan tak nyaman itu muncul.

Perasaan seolah ada yang mengawasi entah darimana, dan menimbulkan rasa berdebar di dada. Ketika, suara tawa ringkik terdengar dari pawon (dapur) rumah, saat itulah, Widya yakin, sesuatu ada di sana.

Sesuatu yang bukan lagi hal baru, ia harus memeriksanya. Ketika Widya menyibak tirai, ia melihat Nur, duduk di sebuah kursi kayu, matanya menatap lurus tempat Widya berdiri.

Ia masih mengenakan mukena putihnya seolah-olah, ia baru menunaikan sholat dan belum menanggalkan mukenanya, hanya saja, kenapa ia duduk diam seperti itu.

"Nur, ngapain?" kata Widya.

Nur masih diam, matanya seperti mata orang yang kosong.

Saat itulah, Widya melihat Nur menundukkan kepalanya dengan posisi duduk itu, seakan-akan ia tertidur di atas kursi kayunya. Membuat Widya panik, mendekatinya.

Widya menggoyang badannya, namun Nur tidak bergeming, saat Widya mencoba menyentuh kulit wajahnya yang dingin, Nur terbangun dan melotot melihat Widya. Tatapannya, seperti orang yang sangat marah.

"Cah Ayu (anak cantik)."

Hal itulah yang pertama Widya dengar dari Nur. Hanya saja, suaranya, itu bukan suara Nur. Suaranya menyerupai wanita uzur. Melengking, membuat bulu kuduk Widya seketika berdiri.

Namun, saat Widya mencoba pergi, tangannya sudah dicengkeram sangat kuat.

"Kerasan nak nang kene (betah tinggal di sini)?"

Widya tidak menjawab sepatah katapun, suaranya mengingatkannya pada neneknya sendiri, benar-benar melengking.

"Yo opo cah ayu, wes ngertos badarawuhi (gimana anak cantik, sudah kenal sama penunggu di sini)?"

Widya mulai menangis.

"Lo, lo, lo, cah ayu ra oleh nangis, gak apik (anak cantik gak boleh menangis)."

Matanya masih melotot, pergelangan tangan Widya dicengkram dengan kuku jari Nur.

"Cah lanang sing ngganteng iku ae wes kenal loh kale Badarawuhi (anak ganteng itu saja sudah kenal sama dia)."

"Nur," ucap Widya sembari tidak bisa menahan takutnya lagi, suasana di ruangan itu benar-benar baru kali ini bisa membuat Widya setakut ini.

"Iling Nur, iling (sadar Nur, sadar)!"

Nur tertawa semakin kencang, tertawanya benar-benar menyerupai tertawa yang membuat Widya diam dan takut.

"Awakmu gak ngerti, sopo aku (kamu gak ngerti siapa aku)?"

"Mbok pikir, nek gak onok aku, cah ndablek model koncomu sing gowo bolo alus nang kene isok nyilokoi putu'ku, aku, sing jogo Nur sampe sak iki, ra tak umbar, bolo alus nyedeki putuku, ngerti (kamu pikir, kalau tidak ada aku, anak nakal seperti temanmu yang sudah membawa penunggu di sini bisa mencelakai cucuku, aku yang selama ini sudah menjaganya, tidak akan kubiarkan mereka mendekati cucuku, mengerti)

"Nyilokoi nopo to mbah (mencelakai bagaimana)?"

"Cah ayu, kancamu siji bakal ra isok balik. Nek awakmu rong sadar, opo sing bakal kedaden, tak ilingno, cah ganteng iku, bakal gowo ciloko, nyeret kabeh nang petoko nang deso iki. (anak cantik, satu dari temanmu tidak akan bisa kembali, jika kamu belum sadar, semuanya akan terjadi, ingatkan anak itu, yang sedang membawa petaka jika dibiarkan semuanya akan kena batunya di desa ini)

Setelah mengatakan itu, Nur teriak keras sekali, lalu jatuh terjerembap.

Widya menggotong Nur kembali ke kamarnya, menungguinya sampai ia terbangun dari pingsannya, dan benar saja, ia tidak tahu kenapa ia bisa tertidur, mungkin terlalu terbawa ketika sholat.

Nur bercerita saat di pondok, kalau sudah kudu menikmati sholatnya, biasanya sampai ketiduran. Entah apa yang Widya pikirkan, sampai tiba-tiba ia bertanya hal yang Nur paling tidak sukai

"Sejak kapan bisa lihat begituan?"

Awalnya, Nur salah tingkah, tidak mau cerita, sampai ketika Widya menungguinya. Nur mengatakannya, sejak mondok ia bisa melihatnya, karena memang harus.

"Gaib itu ada," kata Nur.

"Sebenarnya, tiap orang ada yang jaga, jenisnya berbeda-beda, ada yang jahat, ada yang baik, ada yang cuma mengikuti, ada yang cuma numpang lewat."

"Awakmu onok sing jogo (kamu ada yang jaga)?" tanya Widya.

"Jarene onok (katanya ada)," ucap Nur, suaranya pelan, sepeti tidak mau menjawab.

"Kok jarene (kok katanya)?"

"Aku ra tau ndelok Wid, aku dikandani kancaku sak durunge metu tekan pondok, jarene, sing jogo aku, wujud'e mbah dok, mbahku biyen. (Aku belum pernah melihatnya langsung, aku dikasih tahu temanku sebelum keluar dari pondok, katanya, wujudnya menyerupai nenekku)."

Setelah mendengar itu, Widya hanya mendengar Nur, bercerita tentang pengalamannya selama mondok, namun, Widya lebih memikirkan hal lain.

23 Hari, sudah dilalui, setiap hari, perasaan Widya semakin tidak enak. Dimulai dari warga yang membantu prokernya mulai tidak datang satu persatu. Kabarnya mereka jatuh sakit, anehnya, itu terjadi di proker kelompok mereka, yang berurusan dengan sinden.

Pernah suatu hari, Widya mendengar secara tidak langsung, kalau ini semua karena sindennya mengandung kutukan, tapi Pak Prabu bersih keras itu mitos, takhayul, sesuatu yang membuat warga desanya ketinggalan jaman.

Namun, satu kali, Widya pernah dikasih tahu warga, bila sinden ini ada yang jaga.

Katanya, sinden ini dulu, sering digunakan untuk mandi oleh dia. Dia yang di bicarakan ini, tidak pernah disebut warga. Namun yang mencurigakan dari kasus ini adalah, nama sinden ini, adalah sinden kembar.

Sinden kembar. Widya selalu mengulangi kalimat itu.

Sinden kembar, membuat Widya semakin penasaran

Alasan kenapa Pak Prabu memasukkan ini menjadi proker adalah, agar air sungai dapat dialirkan ke sinden ini, sehingga warga tidak perlu lagi jauh-jauh mengambil air ke sungai yang tanahnya terjal. Namun, seperti ada yang ganjil.

Malam itu, Ayu mengumpulkan semua anak, perihal masalah yang mereka hadapi, hampir setengah warga yang membantu proker mereka tidak mau melanjutkan pekerjaanya. Alasannya bermacam-macam, sibuk berkebun sampai badannya sakit semua.

Dari semua anak yang punya usul, hanya Bima yang tidak seantusias yang lain.

Di malam itu juga, Widya ingat yang dikatakan Wahyu, setiap malam, Bima pergi keluar rumah, entah apa yang dilakukannya.

Widya, sengaja begadang hanya untuk memastikan, dan ternyata benar, malam itu Bima pergi keluar rumah.

Widya masuk ke kamar Bima, di sana ada Wahyu sama Anto, yang pertama Widya lakukan, membangunkan Wahyu. Meski enggan, Widya terus memaksanya.

Setelah Wahyu benar-benar terjaga, Widya memberitahu kalau Bima baru saja keluar.

Wahyu hanya menatap Widya keheranan

"Aku lak wes tau ngomong su (aku kan sudah pernah bilang)."

"Lha ya, ayo di tutno, nang ndi arek iku (lha iya, makanya, ayo kita ikuti, kemana anak itu)."

"Gawe opo? Paling nang omahe prabu, ndandani tong bambu'ne (buat apa, palingan dia ke rumah prabu, memperbaiki tong sampahnya yang dari bambu)

"Yo wes mboh (ya sudah terserah)."

Widya keluar dari kamar itu, kemudian ia pergi menyusul Bima sendirian.

Bima itu anak cowok yang paling religius, sama kaya Nur, karena mereka memang sudah dekat di kampus. Tapi, Anton sering cerita, kalau kadang, dia memergoki Bima onani di dalam kamar, dan itu tidak sekali dua kali, masalahnya adalah, saat Bima melakukan itu, ada suara perempuan.

Widya tidak terima Bima dikatain itu oleh Anton, Widya pun bertanya darimana dia tahu Bima onani.

"Heh, mbok pikir aku ra eroh wong onani iku yo opo (kamu pikir saya gak tau bagaimana cowok onani)?"

Widya masih diam, mendengarkan penjelasan Anton.

"Sing dadi masalahe iku guk Bima onani. Kabeh lanangan pasti tahu onani, aku gak munafik, masalahe, onok suara wedok'e. (yang jadi masalahnya itu bukan Bima onani, semua cowok pasti pernah, aku gak munafik, masalahnya, ada suara perempuannya)."

"Pas tak enteni, sopo arek iku, nek gak awakmu, pasti Ayu nek gak Nur, tapi, ra onok sopo sopo sing nang kamar ambek cah kui. (ketika kutunggu, siapa perempuan itu, kukira itu kamu, kalau gak Ayu atau Nur, ternyata, tidak ada siapa-siapa di dalam kamar sama dia)

"Trus?" tanya Widya.

"Suoro sopo sing tak rungokno lek ngunu (suara siapa dong yang kudengar waktu itu)?"

"Masalahe, aku wes sering krungu, mesti, onok suoro iku (masalahnya, aku sudah sering dan selalu dengar suara itu)."

Cerita Anton membuat pandangan Widya berubah, dan malam itu, ia melihat Bima berjalan jauh ke timur, arah menuju sebuah tempat yang seringkali membuat Widya merinding tiap memandangnya. Tipak Talas.

Tipak Talas

Widya melihat Tipak talas seperti sebuah lorong panjang. Hanya saja, dindingnya adalah pepohonan besar dengan akar di sana-sini. Selain medan tanahnya yang menanjak, di depan Tipak Talas, ada gapura kecil, lengkap dengan kain merah dan hitam di sekelilingnya.

Pak Prabu pernah bercerita, kain hitam adalah nama adat untuk sebuah penanda seperti di pemakaman. Namun, bukankah warna cerah lebih baik untuk menjadi sebuah penanda.

Sebelum Widya tahu kebenaran dari warga yang bercerita, bahwa hitam yang dimaksud adalah simbol alam lain.

Hitam bukan untuk yang hidup, melainkan untuk tanda bagi mereka yang sudah mati.

Mati lalu, apa maksud penanda warna merah?

Konon, dari seluruh tempat yang diberi penanda sebuah kain di desa ini, hanya gapura ini yang diberi kain warna merah, apalagi bila bukan simbol petaka.

Widya mulai melangkah naik, kakinya tidak berhenti mencari pijakan antara akar dan batu, sembari tangannya mencari sesuatu yg bisa menahan berat tubuhnya.

Malam sangat dingin, dingin sekali. Hanya kabut di tengah kegelapan yang bisa Widya lihat. Butuh perjuangan keras untuk sampai. Ketika Widya sampai di puncak Tapak tilas, Widya hanya melihat satu jalan setapak, kelihatannya tidak terlalu curam, namun rupanya butuh ekstra perjuangan juga. Di sana, Widya merasakannya, perasaan yang tidak enak dari tempat ini, semakin kentara, hal itu, membuat Widya merinding.

Jalan setapak itu tidak terlalu besar, di kanan-kiri ditumbuhi rumput dan tumbuhan yang tingginya hampir sebahu Widya, dari sela tumbuhan dan rumput, Widya bisa melihat hutan yang benar-benar hutan, pohon menjulang tinggi dengan tumbuh-tumbuhan di sekitarnya yang tidak tersentuh.

Sangat mudah mengikuti Bima, karena hanya tinggal mengikuti jalan setapak. Namun, setiap kali Widya berjalan, selalu saja, dari balik semak atau rerumputan, seperti ada yang bergerak-gerak. Kadang ketika Widya mencoba memandangnya, suara itu lenyap begitu saja.

Tanahnya keras, dan lembab. Namun Widya terus menembus jalanan itu. Semakin lama semakin dingin, dan sudah beberapa kali Widya berhenti untuk menghela nafas panjang.

Jalanan ini, seperti tidak berujung, namun, bila kembali, Widya tidak akan tahu apa yang dikerjakan Bima di sini.

Hal yang cukup disesali Widya hanya satu, ia hanya mengenakan sandal selop. Memang apa yang Widya lakukan malam ini, spontan karena penasaran, tanpa persiapan, tanpa teman, dan sesal itu, kian bertambah saat Widya mulai mendengar gending.

Ya, suara yang familiar. Nada yang dimainkan adalah kidung yang Widya dengar saat ia berada di bilik mandi, bersama Nur. Sedangkan alunan gamelan yang dimainkan adalah alunan yang sama saat Widya mencuri pandang pada penari yang menari di malam dia bersama Wahyu.

Bukannya lari, Widya semakin menjadi-jadi. Semakin jauh, suaranya semakin jelas, dan semakin jelas suaranya, semakin ramai bahwa di sana, Widya tidak sendirian.

Namun, yang Widya temui, adalah ujung Tipak talas, yaitu, sebuah tumbuhan yang di tanam tepat di jalan setapak.

Tumbuhan itu, adalah tumbuhan beluntas. Tumbuhanya kecil tapi rimbun samping kiri kanan. Sudah gak bisa dilewati, kecuali bila membawa parang, dan tentu saja butuh waktu yang lama untuk membabat semak belukar.

Namun, wangi tumbuhan beluntas seharusnya langu. Namun yang ini, wanginya seperti aroma melati. 

Seperti tidak sadar, Widya sudah mengunyah daun itu, dan terus mengunyah. Widya baru sadar saat tenggorokanya tersayat batang beluntas yang tajam. Dan di balik tumbuhan itu, Widya melihat jalan menurun, pantas saja, ia hanya bisa melihat ujung jalan setapak berhenti di sini.

Jadi, jalan menurunnya ditutup oleh banyak sekali tumbuhan beluntas, saat Widya menuruninya, ia sampai harus berdarah-darah meraih tanaman beluntas yang dililit tali puteri.

Di bawahnya, dia melihat sanggar yang diceritakan Ayu dulu, dan sanggarnya benar-benar berantakan.

Ada 4 pilar kayu jati yang di pangkas segi 4, memanjang ke atas dengan atap mengerucut. Dari jauh terlihat seperti bangunan balai desa, namun lebih besar dengan lantai panggung.

Di sana, suara gamelan terdengar jelas sekali, seperti sumber suara gamelan itu ada di bangunan ini.

Saat Widya mendekatinya, meski ragu, ia merasa kehadirannya tidak sendirian. Ramai, seperti tempat ini penuh sesak. Namun, tidak ada siapapun di sana, hanya dia sendiri, yang berjalan mendekati.

Tepat ketika Widya menginjak anak tangga pertama, suara gamelan, berhenti, sunyi senyap hening sekali.

Keheningan itu benar-benar menganggu Widya, kehadirannya seperti tidak di terima disini.

Namun Widya memaksa untuk tetap melihat. Dan saat itu, Widya mendengar seseorang menangis, suaranya familiar, seperti suara orang yang ia kenal, Ayu.

Widya baru mengingat sesuatu yang paling ganjil selama KKN di sini, Ayu.

Ayu tidak pernah sekalipun cerita apapun tentang desa ini, sesuatu yang ganjil yang mengangggunya. Sebaliknya, Ayu menentang semua yang tidak masuk akal di desa ini.

Namun di malam ketika mereka berdebat mendengar suara gamelan, Ayu pasti berbohong. Ayu sebenarnya juga tahu dan mendengarnya secara langsung, Ayu lebih tahu tentang semua ini, jauh di atas yang lain termasuk, apa yang Bima lakukan selama ini.

Seperti menangkap angin, ada suara tangisannya. Namun tak ada wujud dimanapun Widya mencari. Tetapi, tempat sesunyi dan sesepi itu, masih terasa ramai bagi Widya, seperti ia ditatap dari berbagai sudut.

Widya melihat dari jauh, di bawah sanggar ada sebuah gubuk, berpintu.

Widya mendekatinya, namun enggan membukanya, ia mengelilingi gubuk itu, dari dalam gubuk, terdengar suara Bima diikuti suara perempuan mendesah. Sangat jelas, namun Widya tidak bisa melihat apa yang ada di dalam sana.

Leher Widya perlahan semakin berat, dan berat saat Widya masih bersusah payah mencari cara untuk melihat. Nasib baik, Widya menemukan beberapa celah kecil untuk mengintip. Dari sana Widya menyaksikannya langsung, Bima, sedang berendam di sinden (kolam) di sekitarnya. Ia dikelilingi banyak sekali ular besar.

Melihat itu Widya kaget, dan parahnya, Bima menatap lurus ke tempat Widya mengintip, semua ularnya sama, seperti yang Widya rasakan. Mereka tahu ada tamu tak di undang.

Melihat reaksi seperti itu, Widya berbalik dan lari pergi. Saat lari itulah, suara tabuhan gong diikuti suara kendang, terdengar lagi. Suara gamelan itu, terdengar keras, lengkap dengan suara tertawa yang bersahut-sahutan, dan Widya melihat sanggar kosong itu, dipenuhi semua yang tidak Widya lihat saat tiba di tempat ini.

Dari ujung ke ujung, penuh sesak, banyak sekali yang dilihat Widya, ada yang melotot dari yang wajahnya separoh, sampe yang tidak punya wajah.

Dari yang pendek, sampai yang tingginya setinggi pohon beringin. Mereka memenuhi sanggar dan sekitarnya.

Widya mulai menangis. Suara yang nyaris memenuhi telinga Widya dan hampir membuatnya gila itu tiba-tiba berhenti.

Widya melihat, di depanya, ada yang sedang menari, tariannya hampir membuat semua yang ada di sana melihatnya.

Di sana, Widya menyadari yang menari itu Ayu.

Matanya Ayu sembab, seperti sudah menangis lama, tapi gelagat ekspresi wajahnya seperti menyuruh Widya lari, lari, tanpa tahu apa yang terjadi. Widya langsung lari, melewati kerumunan yang sedang melihat Ayu menari di sanggar.

Widya memanjat tempat itu, menangis sejadi-jadinya. Sampai di jalan setapak, Widya dengar anjing menggonggong, tidak beberapa lama, anjing hitam keluar dari semak belukar, setelah melihat Widya, anjing itu lari, Widya mengikuti anjing itu.

Widya keluar dari jalan setapak itu, ketika subuh, terlihat dari langit yang kebiruan. Tapi rupanya, Widya salah.

Seorang warga desa kaget bukan main melihat Widya. Dia langsung lari sambil berteriak memanggil warga kampung.

"Widya nang kene, iki Widya wes balik (Widya di sini, anaknya sudah kembali)."

Bingung, hampir semua warga berhamburan memeluk Widya.

"Mrene ndok, mrene, awakmu sing sabar yo, awakmu kudu siap yo ambek berita iki (ke sini nak, ke sini, kamu yang sabar ya, kamu harus siap sama berita yang nanti kamu dengar)."

Seorang ibu, memeluk Widya, di matanya ia seperti menahan nangis, Widya hanya gaguk, diam, tidak mengerti. Si ibu menggandeng Widya, Widya masih diam, seperti orang linglung.

Di jalan ramai warga desa yang mengikuti Widya. Widya mencuri dengar dari mereka yang bicara di belakang.

"Wes di goleki sampe Alas D********* jebule, maghrib kaet ketemu arek iki, aku wes mikir elek. (sudah dicari sampai ujung Hutan *********** gak taunya baru ketemu maghrib anak ini, aku sudah mikir buruk)."

Sehari semalam, Widya rupanya sudah menghilang.

Ketika Widya melihat rumah penginapan mereka, Widya melihat banyak sekali orang berkumpul di sana, dan saat mata mereka melihat Widya, semuanya hampir tercengang tidak habis pikir. Seperti melihat hantu lalu, terlihat dari dalam, Pak Prabu keluar, wajahnya mengeras melihat Widya.

Mata Pak Prabu mendelik, melihat Widya.

"Tekan ndi ndok (dari mana kamu nak)?"

Widya tidak menjawab apa yang Pak Prabu tanyakan, si ibu juga menenangkan Pak Prabu agar tenang, sembari menggiring Widya masuk ke rumah, Widya mendengar Nur menjerit, menangis, seperti kesetanan.

Saat Widya masuk dan melihat apa yang terjadi, Widya melihat ruangan itu dipenuhi orang yang duduk bersila. Mereka mengelilingi 2 orang yang terbujur, tubuhnya ditutup selendang, diikat dengan tali putih, menyerupai kafan, Wahyu dan Anto menatap kaget saat Widya masuk.

"Wid, tekan ndi awakmu (dari mana kamu Wid)?" ucap Nur yang langsung memeluk Widya.

"Onok opo iki Nur (ada apa ini Nur)?"

Nur menutup mulutnya, tidak tahu harus memulai dari mana, sampai Wahyu berdiri.

"Ayu Wid, Nur lihat Ayu, tiba-tiba terbujur kaku, matanya tidak bisa ditutup"

Widya mendekati Ayu, di sampingnya ada Bima, ia terus menerus menendang-nendang dalam posisi terikat itu, layaknya seseorang yang terserang epilepsi. Matanya kosong melihat langit-langit, mereka berdua terbaring tidak berdaya, sontak Widya ikut menjerit sebelum ada yg menenangkan.

Dari pawon, mbah Buyut keluar, ia melihat Widya kemudian memanggilnya.

"Sini ndok, Mbah jek tas gawe kopi (sini nak, si mbah baru saja selesai membuat kopi)."

Mbah Buyut, duduk di kursi kayu yang ada di pawon, ia melihat Widya lama, kemudian mengatakannya.

"Koncomu wes kelewatan."

"Pripun mbah (bagaimana mbah)?"

"Yo opo rasane dikerubungi demit sa'alas (bagaimana rasanya dikelilingi makhluk halus satu hutan)?"

Mbah Buyut masih mengaduk kopinya, memandang Widya yang tampak mulai kembali kesadarannya.

"Nyoh, diombe sek (nih, diminum dulu)

Widya menyesap kopi dari mbah Buyut, tiba-tiba rasa pahit yang menohok membuat tenggorokan Widya seperti dicekik, membuat Widya memuntahkannya, begitu banyak muntahan air liur Widya yang keluar. Ia melihat mbah Buyut yang tampak mengangguk, seperti memastikan.

"Koncomu, ngelakoni larangan sing abot, larangan sing gak lumrah gawe menungso opo maneh bangsa demit. (temanmu, melakukan pantangan yang tidak bisa diterima manusia, apalagi bangsa halus)," kata mbah Buyut sembari geleng kepala.

"Paham ndok (paham nak)?"

Widya mengangguk.

"Sinden sing digarap, iku ngunu, sinden kembar, siji nang cidek kali, siji'ne nang enggon sing mok parani wingi bengi. (Sinden yang kamu kerjakan, itu kembar, satu di dekat sungai, satu yang kemarin malam kamu datangi)."

"Eroh opo iku sinden (tahu kegunaan sinden)?"

"Mboten mbah (tidak tahu mbah)."

"Sinden ku, enggon adus'e poro penari sak durunge tampil. Nah, sinden sing cidek kali, gak popo digarap, tapi, sinden sing sijine, ra oleh diparani, opo maneh sampe digawe kelon. (Sinden itu tempat mandinya para penari sebelum tampil. Nah, sinden yang di dekat sungai tidak apa-apa dikerjakan, tapi, sinden yang satunya, tidak boleh didatangi, apalagi dipakai kawin)."

"Widya ngerti, sopo sing gok sinden iku (Widya tahu siapa yang ada di sinden itu)?"

Widya diam lama, sebelum mengatakannya.

"Ular mbah."

"Nggih, betul."

"Sing mok delok iku, ulo-anak'e Bima karo... (yang kamu lihat itu adalah anaknya Bima sama...)

"Ular itu mbah."

Mbah buyut mengangguk

"Iku ngunu, mbah sing kecolongan, Widya mek di dadekno awu awu, ben si mbah ngawasi Widya, tapi mbah salah, koncomu iku sing ket awal wes diincer karo... (itu, mbah yang kecolongan, Widya cuma dijadikan pengalih perhatian, biar si mbah ngawasi kamu, tapi mbah salah, dari awal yang diincar sama...)

Mbah Buyut diam lama, seperti tidak mau menyebut nama makhluk itu. 

"Ngantos, yo nopo mbah, Ayu kale bima saget mbalik (lalu bagaimana mbah, apa Ayu sama Bima bisa kembali)?"

"Isok isok," kata mbah Buyut, "sampe balak'e diangkat."

"Balak'e diangkat mbah (bencananya diangkat)?" tanya Widya, bingung.

"Bima ambek Ayu wes kelewatan, sak iki, kudu nanggung opo sing dilakoni (Bima sama Ayu sudah kelewatan, sekarang, dia harus menanggung apa yang dia perbuat)."

"Ayu sak iki, kudu nari, keliling alas iki (Ayu sekarang harus menari mengelilingi hutan ini)."

"Sak angkule nari, sadalan-sadalan (tampil, menari, di setiap jengkal tanah ini)."

"Bima mbah?"

"Bima, yo kudu ngawini sing nduwe sinden (Bima ya harus mengawini yang punya sinden)

"Badarawuhi mbah."

Mbah Buyut kaget.

"Oh ngunu (oh begitu) wes eroh jeneng'e (sudah tahu namanya)."

"Badarawuhi, iku salah sijine sing jogo wilayah iki, tugas Badarawuhi iku nari, dadi bangsa lelembut iku yo seneng ndelok Badarawuhi iki nari, nah, sak iki, Ayu kudu nanggung tugas Badarawuhi nari. (Badarawuhi itu salah satunya yang jaga di wilayah ini, tugasnya ya menari, jadi bangsa lelembut suka melihat tarian dari Badarawuhi, sekarang, Ayu harus menggantikannya)

"Bima, kudu ngawini Badarawuhi, anak'e iku wujud'e ulo, sekali ngelahirno, isok lahir ewonan ulo. (Bima harus mengawini Badarawuhi, anaknya itu berwujud ular, sekali melahirkan, bisa lahir ribuan ular)

"Salah kancamu, wes ngelakoni hal gendeng nang kunu, dadi kudu nanggung akibate. (salah temanmu sendiri, jadi sekarang mereka harus tanggung jawab)

"Badarawuhi iku ngunu ratune ulo, bangsa lelembut sing titisan aji sapto, balak'e ra isok ditolak opo maneh di mendalno, mene isuk, tak coba'e ngomong apik-apik'an, wedihku, koncomu ra isok balek orep-orep. (Badarawuhi itu ratunya ular, bangsa lelembut yang sudah tak terbendung, kutukannya, gak bisa ditolak apalagi sampai dibuang, besok pagi, biar tak coba ngomong baik-baik, takutnya, temanmu tidak bisa kembali hidup-hidup)."

Mbah buyut pergi, Nur, Wahyu dan Anton melihat Widya sendirian di pawon, duduk, sembari termenung.

"Goblok!! Bima karo Ayu asu!! Kakean ngent*t!!" (bodoh!! Bima sama Ayu itu Anj*ng!! kebanyakan ngent*t)

Kalimat itu, yang mereka semua pikirkan malam itu.

Meski yang diucapkan Wahyu itu kasar, namun tidak ada yang keberatan dengan semua itu, terlebih, masalah ini sudah sampai ke pihak kampus, bahkan ke keluarga Bima dan Ayu.

Pak Prabu menceritakan bahwa kronologi kejadian ini sudah tidak bisa mereka bendung. KKN yang menjadi tanggung jawab beliau, harus sampai, ke semua orang yang terlibat, meski awalnya Nur mencoba memohon agar masalah ini jangan sampai keluar dulu.

Namun, hilangnya Widya, membuat Pak Prabu akhirnya menyerah dan memilih melaporkannya.

Lalu apa yang terjadi sama Ayu dan Bima?

Pagi itu, serombongan mobil datang, mereka adalah keluarga sekaligus panitia KKN yang sudah mendengar semua ceritanya dari Pak Prabu.

Ayu masih terbaring, matanya melotot, namun tubuhnya masih seperti orang lumpuh.

Bima, masih kejang-kejang.

Well ada yang mau lihat foto mereka?

maaf maaf, Aib!!

Soal mobil, gw gak paham. intinya mereka di jemput paksa, KKN mereka di coret, gw bakal lanjutin akhir ceritanya saja ya, sama yang bersangkutan. Di selesaiin saja malam ini, biar gw bisa fokus kerja lagi. tapi serius pengen lihat foto mereka?

Gw cuma moto dari hape, karena fotonya di cetak di art paper, dan gw cuma bisa bilang, Bima sama Ayu, cantik dan ganteng memang. Karena itu gw berani gambarin fisiknya si Bima.

Gw lanjut ya

Sebenarnya, proses penjemputan gak semudah yang bakal gw tulis, karena pihak keluarga Bima maupun Ayu, marah besar, mereka tidak terima anaknya di bikin seperti ini.

Bahkan pihak kampus juga kena, karena kasusnya benar-benar hampir di bawa ke media nasional.

Widya, Nur sampai harus mohon agar Ayu dan Bima dibiarkan tetap tinggal di sini, yang konon kata Mbah Buyut bisa saja balaknya diambil sewaktu-waktu. Namun, dari pihak keluarga Ayu dan Bima, tidak mau lagi, mereka tetap membawa Ayu dan Bima, hasilnya?

Ayu hanya bisa tidur dengan mata terbuka terus menerus, Widya pernah di ceritain oleh ibunya, bahwa kadang, ia melihat mata Ayu meneteskan air mata.

Tapi, setiap ditanya, dia hanya diam, tak menjawab, Ayu akhirnya meninggal setelah 3 bulan di rawat.

Abangnya, merasa bersalah sampai hampir mau mengamuk di desa itu. Namun, Pak Prabu pun sama, seharusnya sejak awal, saat Ayu memohon di ijinkan KKN di sana, ia tegas menolak.

Alasannya, memang tempat itu tidak baik untuk ditinggali mereka yang masih bau kencur.

Bima??

Bagaimana?? Meninggal juga. Malam sebelum dia meninggal, Bima teriak minta tolong, tapi ketika ditanya, kenapa dan minta tolong apa?

Bima berteriak ular, ular, ular, ia meninggal lebih dulu dari Ayu, tubuhnya di kebumikan, orang tuanya awalnya masih mau memperpanjang masalah ini sama pihak kampus, tapi akhirnya dicabut, dengan catatan, KKN tidak lagi di adakan di timur Jawa lagi.

Sejak saat itu, kampus ini hanya memperbolehkan KKN ke arah barat, tidak lagi timur, apalagi desa yang jauh.

Ada hal yang bikin gw radak susah gambarin adalah narasumber "Widya" disamarkan, setiap beliau bercerita, beliau hanya menceritakan intinya, dan gw harus ngatur ulang ceritanya agar nyambung.

Terlepas dari itu, gw inget, tiap dia cerita, tangannya gugup, seperti tidak mau mengulang peristiwa itu. apapun itu, gw berharap cerita ini mengandung hikmah bagi kalian yang membacanya.

Untuk peserta KKN nya pun sebenarnya bukan 6 orang, tapi 14 orang, gw perpendek untuk mempersingkat cerita beliau yang saling berkaitan satu sama lain.
Share:

0 comments:

Posting Komentar